-->
Doa Pagi dan Petang (dibaca 3 kali)
اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ سِمْعِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَااِلهَ الِاَّ اَنْتَ
"Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada badanku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada pendengaranku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada penglihatanku, tiada Ilaah yang layak untuk diibadahi kecuali Engkau".
(Hadits Hasan Riwayat Abu Daud: 4/324 dan Ahmad: 5/42)

Sabtu, Agustus 14, 2010

Download Ramadahan

...::| TAFAD-DHOLL |::...

Bagi teman-teman yang memerlukan informasi seputar Ibadah Ramadhan atau Ibadah Puasa Ramadhan dan Hari Raya 'Ied el-Fithr, DOWNLOAD saja file-file berikut !
Uraian beberapa hadits dho'ief dan atau maudhu' terkait dengan masalah bulan dan atau ibadah Ramadhan

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Jumat, Juli 16, 2010

HUKUM MENDIRIKAN MASJID DI ATAS KUBURAN

Ahlu as-Sunnah berkeyakinan bahwa membangun masjid di atas kuburan itu tidak dibolehkan 'DILARANG', perbuatan ini merupakan penyelewengan dari tuntunan Rasulillah SAW.

Mendirikan masjid di atas kuburan merupakan perbuatan yang akan membuka kesempatan prilaku dan budaya syirik di masa-masa selanjutnya, oleh karenanya hal tersebut dilarang dalam Islam.

Tanpa panjang lebar, bagi teman-teman yang memerlukan informasi tentang hal tersebut dan yang terkait dengan permasalahan kuburan, silahkan baca/download VIA LINK DIBAWAH INI :

.....:::| DOWNLOAD DARI SINI [ haram mendirikan masjid di atas kuburan ] |:::.....

MOHON MAAF LINK DOWNLOAD RUSAK

Dan sebagai gantinya silahkan klik
...::: LINK INI :::... 

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Kamis, Mei 06, 2010

FIQIH SEBAGAI MATA PELAJARAN DI MTs

1. Definisi Mata Pelajaran Fiqih

Istilah Fiqih berasal dari bahasa arab "فَقِهَ - يَفْقَهُ - فِقْهًا" yang berarti paham, sedang menurut syara' berarti mengetahui hukum-hukum syar,i yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf, baik amal perbuatan anggota maupun batin, seperti mengetahui hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan itu (Moh. Riva'i, 1990: 9).

Sementara itu Abdul Hamid Hakim (tt : 6), mendefinisikan Fiqih sebagai berikut:

اَلْفِقْهُ لُغَةً اَلْفَهِمُ , فَقِهْتُ كَلاَمَكَ ,أَيْ فَهِمْتُهُ وَاِصِطِلاَحًا اَلْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِيْ طَرِيْقُهَا اْلاِجْتِهَادُ

Yakni: "Fiqih secara etimologi berarti faham, seperti ungkapan 'fahimtu kalamaka' berarti saya memahami ucapanmu. Dan secara terminologi Fiqih berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at yang diperoleh melalui metode ijtihad".

Ijtihad yang dimaksud pada definisi tersebut di atas berarti menggunakan seluruh daya dan upaya (potensi akal) untuk menetapkan hukum syari'at (tentang sesuatu hal) dengan metode istinbat (memetik/mengeluarkan) dari kitab dan sunnah (Moh. Riva'i, 1990: 124-125). Atau dengan kata lain upaya pencarian hukum hukum tentang sesuatu hal dengan cara merincikan atau mengeluarkan dalil-dalil naqli dari al-Qur'an dan atau al-Hadits al-Shahih. Senada dengan kedua definisi tersebut di atas, Abdul Wahhab Khallaaf (1978: 11) mendefinisikan Fiqih sebagai berikut:

اَلْعِلْمُ بِأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ اْلمُكْتَسَبُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفِصِيْلِيَّةِ - اَوْ هُوَ مَجْمُوْعَةُ اْلاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ اْلمُسْتَفَادَةُ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفِصِيْلِيَّةِ

Yakni: "pengetahuan tentang hukum-hukum syari'at yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang bersifat parsial (dalil yang telah dibahas secara terperinci untuk maksud hukum tertentu, pen) atau juga berarti kumpulan hukum-hukum syari'at yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat parsial".

Bertolak dari uraian tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa Fiqih secara etimologi berarti paham atau tahu, sedangkan terminologi Fiqih adalah memahami atau mengetahui hukum-hukum syari'at -seperti: halal, haram, wajib, sunnah, dan mubah nya sesuatu hal- dengan metode ijtihad -yakni upaya mencari dasar hukum (dalil naqli) tentang sesuatu dari al-Qur'an dan atau al-Hadits al-Shahih.

Adapun yang dimaksud dengan mata pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah (MTs) adalah salah satu sub mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Mata pelajaran PAI di MTs. terdiri dari 4 (empat) sub mata pelajaran, yaitu: 1) Akidah Akhlak; 2) Al-Qur'an Hadits; 3) Fiqih; dan 4) Sejarah Kebudayaan Islam.

Mata pelajaran Fiqih dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah didefinisikan sebagai salah satu bagian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan hukum Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan (Depag RI, 2005: 46).

2. Tujuan dan Fungsi Mata Pelajaran Fiqih

Dalam buku Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi) (Depag RI, 2005: 46-47), dijelaskan mengenai fungsi dan tujuan mata pelajaran Fiqih di MTs. sebagai berikut, yaitu:

Mata pelajaran Fiqih di MTs. bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat:
  • mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli, sebagai pedoman hidup bagi kehidupan pribadi dan sosial; dan
  • melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar, sehingga dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Mata pelajaran Fiqih di MTs. berfungsi untuk:
  • penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah SWT., sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;
  • penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat;
  • pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di madrasah dan masyarakat;
  • pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga;
  • pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah dan muamalah;
  • perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; dan
  • pembelakalan peserta didik untuk mendalami Fiqih/hukum Islam pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

3. Ruang lingkup mata pelajaran Fiqih

Dalam buku Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi) (Depag RI, 2005: 47), dijelaskan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah itu meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara:
  • Hubungan manusia dengan Allah SWT.
  • Hubungan manusia dengan sesama manusia, dan
  • Hubungan manusia dengan alam (selain manusia) dan lingkungannya.

Adapun fokus mata pelajaran Fiqih adalah dalam bidang-bidang berikut, yaitu:
  • Fiqih ibadah
  • Fiqih Mu'amalah
  • Fiqih Jinayah
  • Fiqih Siyasah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ruang lingkup mata pelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Secara garis besar diklasifikasikan ke dalam 2 bagian, yaitu:
  • Hubuangan vertikal, yakni hubungan manusia dengan Sang Pencipta alam semesta (hablu minallaah atau 'ibadah). Ruang lingkupnya meliputi ketentuan-ketentuan tentang thaharah, shalat, puasa, zakat, haji-umroh, jinayah, dan sebagainya.
  • Hubungan horizontal, yakni hubungan manusia dengan makhluk. Ruang lingkupnya meliputi ketentuan-ketentuan tentang mu'amalah dan siyasah (politik atau ketatanegaraan).
-----------------------------
REFERENSI:
  1. Abdul Wahab Khalaaf. 1978. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kuweit: Daar al-Qalam. Cet. ke -2.
  2. Depag RI. 2005. Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar Kompetensi). Jakarta: Depag RI. Cet. ke -2. 
  3. Moh. Riva'i. 1990. Ushul Fiqih untuk PGA 6 Th., Mu'allimin, Madrasah Menengah Atas, Persiapan IAIN dan Madrasah-Madrasah yang Sederajat. Bandung: Alma'arif. Cet. ke -5.

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

DEFINISI AKHLAK

Istilah "akhlak" menurut Jamil Saliba (Afifuddin, 2008: 19) berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan wazan (timbangan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu, if'alan yang berarti : al-sajiyah (perangai), ath-thabi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-'adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Kahar Masykur, sebagaimana yang dikutip oleh Afifuddin (2008: 19-20), menyatakan bahwa kata "akhlak" berasal dari bahasa Arab, ia adalah bentuk jama' dari khulqu yang berarti: sajiyah (perangai) muruu'ah (budi), thab'u (tabiat), dan adaab (adab). Sementara itu dalam Kamus Ilmiah Populer (Adi Satrio, 2005: 24), kata akhlak didefinisikan sebagai budi pekerti, tingkah laku, perangai.
Menurut penulis penisbatan kata akhlak sebagai bentuk masdar dari akhlaka tidak tepat, karena bentuk mashdar akhlaka adalah ikhlaqan bukan akhlakan. Dan agaknya pendapat Kahar Masykur lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan pendapat Jamil Saliba, yaitu bahwa kata akhlak berasal dari kosa kata bahasa Arab akhlaq "اَخْلاَقٌ" yang merupakan bentuk jama' (plural) dari خُلُقٌ (khuluq) atau خَلْقٌ (khalqun) yang berarti sajiyyah (perangai), muruu'ah (budi pekerti), thab'u (tabi'at) 'aadat (kebiasaan), dan perangai tingkah laku.

Berikut adalah beberapa referensi lainnya yang dapat menguatkan pendapat Kahar masykur tersebut di atas:
  • Dalam kamus bahasa Arab "Mukhtaar ash-Shohhaah" kata اَلْخُلُقُ "al-khuluqu" diartikan dengan اَلْسَجِيَّةُ "al-sajiyyah" (perangai) (Muhammad bin Abi Bakar bin Abd al-Qadir ar-Razi, 2001: 87).
  • Khulk (khuluq, pen) di dalam kamus al-Munjid berarti budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat (Asmaran As, 2002 : 1).
  • Muhammad Idris Abdu ar-Ra'uf al-Marbawi (tt: 189) mendefinisikan kata khalqun atau khuluqun dengan perangai, tabiat, rasa malu, adat.
  • Dalam Kamus Al-Kautsar Lengkap Arab-Indonesia, kata al-Khulqu dan al-Khuluqu diterjemahkan dengan tabiat-tabiat kebijaksanaan. Ilmu akhlak (علم الاخلاق) pada kamus tersebut diterjemahkan sebagai ilmu tata krama (Husin al-Habsyi, 1991: 87).
  • Dalam sebuah hadits Nabi Saw riwayat Abu Dzar al-Ghifari terdapat kata khuluq yang berarti perangai atau cara bergaul, berikut adalah matan hadits tersebut:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Artinya: "bertakwalah kepada Allah dimanpun kamu berada dan iringilah perbuatan jahat dengan kebaikan niscaya (pahala) kebaikan akan menghapus (dosa) nya dan bergaullah dengan manusia dengan pergaulan/perangai yang baik".
  • Dalam al-Qur'an kata khuluq terdapat dalam surat al-Qalam, 68: 4: "wa innaka la'alaa khuluqin adhimin" yang diartikan sebagai budi pekerti (Mujtama' al-Malik Fahd Li Thiba'at al-Mush-haf, 1418: 960).
Adapun pengertian Akhlak secara terminologi, menurut Imam Gazali (Asmaran As, 2002: 2) adalah "sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan".

Senada dengan ungkapan tersebut di atas, dalam kamus al-Mu'jam al-Wasit (Asmaran As, 2002: 2) disebutkan definisi Akhlak sebagai berikut:

اَلْخُلُقُ حَالٌ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدُرُ عَنْهَا اْلاَعْمَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرٍّ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ

Yakni: "Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan"

Ibnu Miskawaih seperti yang dikutip Yusrina (2006: 14) mendefinisikan Akhlak sebagai "jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu".

Sementara Prof. Dr. Ahmad Amin sebagaimana yang dikutip oleh Yusrina: (2006: 15) mengemukakan bahwa "sementara orang mengetahui bahwa yang disebut Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan Akhlak". Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama Akhlak. 
Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi Akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan dan sudah menjadi kebiasaan.

REFERENSI:
  1. Adi Satrio. 2005. Kamus Ilmiyah Populer. Visi7.
  2. Afifuddin, et. al. 2008. Spektrum Pendidikan Islam. Bandung: Azkia Pustaka Utama.
  3. Asmaran As. 2002. Pengantar Studi Akhlak - Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  4. Husin al-Habsyi. 1991. Kamus al-Kautsar Lengkap Arab-Indonesia, (Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1991), Cet. ke -5, h.87
  5. Muhammad bin Abi Bakar bin Abd al-Qadir Ar-Razi. 2001. Mukhtaar ash-Shohhah.Beirut: Daar al-Fikr. Cet.i.
  6. Muhammad Idris Abdu ar-Ra'uf al-Marbawi. tt. Qamus Idris al-Marbawi, Arabi-Malaayuwi. Daar Ihya' al-Kutub al-Arabiyah Indunisiyah.
  7. Yusrina. 2006. Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP YPI Cempaka Putih Bintaro (Online) (http://idb4.wikispaces.com/file/view/rc02-pengaruh+PAI+terhadap+pembentukan+akhlak+siswa.pdf, diakses 31 Januari 2009). Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

DEFINISI PESERTA DIDIK

Term siswa, murid, pelajar, dan peserta didik merupakan bentuk kata bersinonim (memiliki makna/arti yang sama), Term-term tersebut makna/artinya adalah anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari sutu lembaga pendidikan. Peserta didik adalah subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat.

Dalam pengertian umum, anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.sedangkan dalam arti sempit anak didik adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dikutip oleh Murip Yahya (2008 : 113), dijelaskan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah "anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu".
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah individu manusia yang secara sadar berkeinginan untuk mengembangkan potensi dirinya (jasmani dan ruhani) melalui proses kegiatan belajar mengajar yang tersedia pada jenjang atau tingkat dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik dalam kegiatan pendidikan merupakan obyek utama (central object), yang kepadanya lah segala yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan dirujukkan.

Referensi:
Murip Yahya. 2008. Pengantar Pendidikan. Bandung: Prospect.

Download+artikel+definisi+peserta+didik
Download Artikel tentang DEFINISI PESERTA DIDIK



Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Senin, Maret 22, 2010

IDDAH, WANITA KELUAR RUMAH, PERAYAAN KEHAMILAN

A. SEKILAS TENTANG 'IDDAH


1. Pengertian Iddah
Kata 'Iddah berasal dari bahasa Arab "عِدّةٌ" yang berarti jumlah bilangan dan hitungan. Dalam Istilah fiqih 'Iddah berarti masa penantian (menunggu) seorang wanita dan beristirahat dari urusan perkawinan karena kematian suaminya atau dicerai oleh suaminya.

2. Hikmah Disyariatkannya 'Iddah
a. Menghindari tercampurnya nasab calon bayi (janin).
b. Memberi kesempatan kepada pasangan suami-istri yang telah bercerai (thalaq raj'i) untuk ruju'.

3. Macam-Macam Iddah
a. 'Iddah waniya hamil adalah sampai melahirkan kandungannya.

Allah SWT berfirman : "……..dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya……" (QS. Ath-Thalaaq, 65 : 4)

b. 'Iddah wanita yang masih berhaid adalah tiga kali haid

Allah SWT berfirman : "Dan wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
c. 'Iddah wanita yang tidak berhaid, baik karena masih kecil (belum berhaid) maupun sudah tua sehingga tidak berhaid lagi (menopause) adalah tiga bulan.

Allah SWT berfirman : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (QS. At-Thalaaq, 65 : 4)

d. 'Iddah wanita yang suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari (baik wanita tersebut telah dicampuri ataupun belum dicampuri, demikian juga baik wanita tersebut masih kecil (belum berhaid) ataupun sudah tua dan tidak berhaid lagi (menopause).

Allah SWT berfirman : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari." (QS. Al-Baqarah, 2 : 234)

Adapun bila seorang wanita sedang hamil dan suaminya meninggal dunia, maka 'iddah baginya adalah sampai ia melahirkan kandungannya.

B. ABOUT WANITA (ISTRI) KELUAR RUMAH

Wanita sebaiknya tidak keluar rumah kecuali untuk melakukan aktifitas yang penting. Jika tidak ada kepentingan, maka sebaiknya seorang wanita diam dirumah. Izin kepada suami bagi seorang wanita yang akan keluar rumah untuk melakukan aktifitas yang penting bukan suatu keharusan, hal ini hanya bersifat pemberitahuan saja bahwa ia akan keluar rumah, sehingga bila suaminya memerlukan mudah untuk mencarinya.

Seorang suami tidak boleh melarang istrinya yang akan keluar rumah untuk melakukan aktifitas yang penting, apalagi jika untuk menuntut ilmu, pergi ke masjid, bersilaturahmi ke orang tua dan yang sejenisnya.

Namun demikian, bila seorang wanita keluar rumah harus memperhatikan hal-hal berikut ini :

1. Menutup aurat, mejaga kehormatan diri, dan menundukkan pandangan
Allah SWT berfirman : "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, ..." (QS. An-Nuur, 24 : 31)

2. Bersama dengan mahramnya jika bepergian jauh (safar)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لاَ تُسَاقِرُ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
Artinya : "Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata : "Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari, keculai bersama dengan mahramnya." (HR. Bukhori (Shohih Bukhori : 1024 & 1025) - dan Muslim (Shohih Muslim : 2284))

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الخُدْرِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْ أَنْ تُسَافِرَ الْمَرْأَةُ مَسِيْرَةَ يَوْمَيْنِ أَوْ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجَهَا أَوْ ذُوْ مَحْرَمٍ
Artinya : "Dari Abi Sa'ad al-Khudri r.a. , bahwasannya Rasulullah Saw melarang seorang wanita bepergian selama perjalanan dua hari atau dua malam, kecuali ia ditemani oleh suaminya atau mahramnya." (HR. Bukhori (Shohih Bukhori : 1858) - Muslim(Shohih Muslim : 2383) - dan Ahmad (Musnad Ahmad : 10864)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَ
Artinya : "Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw : "Tidallah halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian dalam perjalanan sehari semalam, kecuali bersama seorang mahram yang mengayominya." (HR. Tirmidzi (Sunan Tirmidzi : 1089))

C. PERAYAAN/UPACARA SEPUTAR KEHAMILAN

Islam melalui teladan Rasulullah Muhammad Saw tidak pernah mengajarkan upacara atau perayaan sekitar kehamilan seorang ibu, seperti upacara/perayaan empat puluh hari kehamilan, empat bulan kehamilan, tujuh bulan kehamilan, atau yang semacam itu. Islam hanya mengajarkan bahwa jika seorang bayi telah dilahirkan dari rahim seorang ibu, maka pada hari ke -7 pasca kelahirannya hendaklah diadakan penyembelihan hewan aqiqah dan dagingnya dibagikan kepada tetangga. Jika bayi yang terlahir laki-laki, maka disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan jika bayinya perempuan disembelihkan seekor kambing.

عَنْ سَمْرَةَ بْنِ جَنْدُبٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسَهُ وَيُسَمَّى
Artinya : "Dari Samrah bin Jundub dari Rasulullah Saw, bersabda : "Setiap anak (bayi yang terlahir) tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelihnya (aqiqah tersebut) pada hari ke tujuh (pasca kelahirannya), dan dicukur (rambut) kepalanya, dan diberi nama". (HR. Tirmidzi (Sunan Tirmidzi : 1442) - Abu Daud (Sunan Abi Daud : 2454 & 2455) - Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah : 3156) - Ahmad (Musnad Ahmad : 19225 & 19274))
عَنْ أُمِّى بَنِى كُرْزٍ الكَعْبِيَّةِ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَقِيْقَةِ
فَقَالَ عَنِ الْغُلاَم شَاتَانِ مُكَا فِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
Artinya : "Dari Ummi Bani Kurz al-Ka'biyyah bahwasannya ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang Aqiqah, maka Rasulullah Saw menjawab : "untuk anak laki-laki 2 ekor kambing yang sejenis dan untuk anak perempuan satu ekor kambing." (HR. Tirmidzi (Sunan Tirmidzi : 1435) - Abu Daud (Sunan Abi Daud : 2451 & 2452) - Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah : 3153) - Nassa'i (Sunan Nasa'i : 4144 & 4145))

Upacara/perayaan seputar kehamilan seorang ibu bukan berasal dari ajaran Islam, ia adalah sisa-sisa ajaran kultur/budaya asia [MARCDEDEQ] yang terasimilasi dengan Islam.

Maka sebagai seorang mukmin yang hanya menyakini ajaran dan tuntunan Islam, hendaknyalah upacara/perayaan yang semacam itu ditinggalkan, sangat naif sekali jika ajaran/budaya kultur kita amalkan dan kita agung-agungkan sementara sunnah Rasulullah Saw yang ada kita abaikan. Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, tsumma na'udzu billaahi min dzaalik.
Demikian واللهُ أَعْلَمُ

REFERENSI :

  1. Asy-Syaikh Sayyid Saabiq, Fiqh as-Sunnah Jilid II hal. 277-299, Beirut : Daar al-Fikr
  2. Global Islamic Software Company (GISCO), Mausu'ah Al-Hadits Asy-Syarief - (Software)
  3. Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan, Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita Beriman, Jakarta : Megatama Sofwa Pressindo, 2003.
  4. A.D. El Marzdedeq, PARASIT AQIDAH : Selintas Perkembangan dan Sisa-Sisa Agama Kultur, Bandung : Yayasan Ibnu Ruman.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis sebagai jawaban atas pertanyaan Mahasiswi Program Kualifikasi S1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan / PAI Kelas H Ruang W.8, She is from Sumedang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------



Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Rabu, Februari 17, 2010

Kurikulum KTSP

Kurikulum (Kurikulum KTSP) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan berlandaskan kepada standar isi, kompetensi lulusan, pedoman BSNP, dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan panduan lain yang relevan.

Secara umum kurikulum KTSP terdiri dari dua macam dokumen, yaitu sebagai berikut:

::: Sistematika KTSP
A. Dokumen I, yang antara lain berisi:  
  • Halaman sampul/cover
  • Surat Permohonan Pengesahan Kurikulum
  • Lembar Pengesahan
  • SK. Tim Pengembang Kurikulum
  • Kata Pengantar
  • Daftar Isi
BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.    Landasan Hukum
C.    Tujuan Pengembangan Kurikulum
D.    Prinsip Pengembangan Kurikulum
E.    Acuan Operasional Pengembangan Kurikulum
F.    Profil Madrasah
BAB II    VISI, MISI, DAN TUJUAN MADRASAH
A.    Visi Madrasah
B.    Misi Madrasah
C.    Tujuan Madrasah
D.    Rencana Strategis Madrasah   
BAB III    STRUKTUR DAN MUATANB KURIKULUM
A.    Struktur Kurikulum
B.    Muatan Kurikulum
1.    Mata Pelajaran Wajib
2.    Muatan Lokal
C.    Kegiatan Pengembangan Diri
D.    Pengaturan Beban Belajar
E.    Ketuntasan Belajar
F.    Kriteria Kenaikan Kelas dan Kelulusan Peserta Didik   
1.    Kriteria Kenaikan Kelas   
2.    Kriteria Kelulusan   
G.    Pendidikan Kecakapan Hidup   
BAB IV    KALENDER PENDIDIKAN   
B. Dokumen II, yang berisi:
  • Silabus Tematik Kelas I, II dan III;
  • Silabus semua Mata Pelajaran Kelas I s.d Kelas VI; dan
  • Silabus Muatan Lokal.

    Areefah
    Areefah Haurgeulis Updated at:

     
    back to top