oleh: Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’
A. Syubhat pertama:
Allah
Ta’ala menjadikan matahari, bulan dan bintang sebagai
tanda kekuasaan Allah bagi manusia. Allah memberikan berbagai nikmat
melalui mereka. Allah juga membimbing manusia untuk mengambil pelajaran
dan mengambil manfaat dari posisi dan perjalanan mereka. Karena Allah
mengatur mereka dengan perhitungan yang tanpa cacat dan tidak akan
berbenturan. Allah
Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا
بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui” (QS. Yunus: 5)
Allah juga berfirman:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ
النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu
mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan
dengan jelas” (QS. Al Isra: 12)
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan” (QS. Ar Rahman: 5)
Jika sekelompok orang (pakar astronomi) sudah mengetahui munculnya
hilal menggunakan ilmu hisab secara yakin setelah matahari tanggal 29
tenggelam atau lebih dari itu, atau mengetahui munculnya hilal dengan
imkanur ru’yah
jika terhalang. Jika sekelompok orang tersebut mengabarkan kepada kami
sampai kabarnya mencapai kadar mutawatir, maka wajib diterima. Karena
pengetahuan mereka dibangun atas faktor inderawi dan persaksian. Mereka
juga tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena kabarnya sampai
kadar mutawatir. Andai tidak sampai mutawatir pun, kabar mereka bernilai
ghalabatuz zhan bahwa hilal sudah muncul atau berupa dugaan muncul berdasarkan
imkanur ru’yah.
Ghalabatuz zhan
itu sudah mencukupi untuk menjadi dasar sebuah amal. Sehingga wajib
menerima kabar mereka dan menyerahkan urusan jadwal-jadwal ibadah dan
muamalah kepada mereka.
Jawaban:
Kami menerima bahwa matahari, bulan dan bintang adalah tanda
kekuasaan Allah bagi manusia. Dan juga bahwa mengambil manfaat serta
ber-
tafakkur dengan keadaan serta perjalanan mereka itu wajib.
Dengan demikian kita akan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang bisa
menerangi hati, akan mengokokohkan aqidah yang shahih, serta menimbulkan
ketenangan hati. Kita juga akan bisa menemukan kebesaran dan keajaiban
ciptaan-Nya. Namun, Allah
Subhanaahu Wa Ta’ala tidak membebani
kita untuk mengetahui perhitungan-perhitungan dari perjalanan matahari,
bulan dan bintang untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan muamalah, atau
untuk sekedar mengetahui kapan mereka muncul. Ini merupakan kasih
sayang Allah terhadap hamba-Nya. Karena perhitungan-perhitungan tersebut
adalah perkara yang
khafiy (samar), tidak diketahui kecuali oleh sedikit orang saja. Karena sifatnya yang
khafiy
itu juga, menyebabkan ia rawan terjadi kesalahan perhitungan dan
pendapat-pendapat yang berbenturan. Maka syariat kita menjadikan metode
lain sebagai patokan. Seperti
ru’yatul hilal,
terbi-tenggelamnya matahari, hilangnya senja, bayangan putih fajar, atau
semacamnya, yang bisa nampak oleh semua manusia sehingga mereka bisa
menjadikannya patokan dalam waktu-waktu ibadah, muamalah dan jadwal
hidup mereka. Dengan metode itu juga ditentukan jumlah tahun, bulan dan
hari, bukan dengan mengitung perjalanan benda-benda langit.
Adapun pengetahuan sekelompok ahli astronomi tentang kemunculan hilal
secara yakin sebagaimana anda disebutkan, bahwa pengetahuan mereka
dibangun atas penerimaan inderawi dan
musyahadah (persaksian langsung)
,
ini tidak benar. Karena adanya perselisihan dan perbedaan-perbedaan
dalam hasil perhitungan mereka. Ini menunjukkan salahnya alasan mereka.
Selain itu, ilmu mereka itu tidak dibangun atas dasar penerimaan
inderawi dan
musyahadah. Karena yang namanya
musyahadah
itu sesuatu yang bisa di-indera, dalam hal ini mengindera benda-benda
langit. Sedangkan memperkirakan perjalanan benda-benda langit, ini
merupakan hasil olah otak, bukan hasil dari meng-indera. Dan sebagian
besarnya, terjadi perselisihan dan perbedaan hasil perhitungan. Maka,
kabar dari mereka (ahli astronomi) meski mencapai kadar
mutawatir, tidaklah bernilai
qath’i dan yakin akan kebenaran kabar tersebut. Karena salah satu syarat kabar
mutawatir bisa bernilai
qath’i
adalah penyampai awal dari kabar mendapatnya dari sumber kabar secara
inderawi. Sedangkan mereka menyandarkan kabar mereka pada perkiraan dan
perhitungan perjalanan benda-benda langit.
Sehingga secara logis, metode
ini tidak aman dari kesalahan. Sebagaimana kabar dari orang filsafat
tentang penciptaan alam. Selain itu juga, penolakan syariat terhadap
metode ini menunjukkan tidak benarnya metode ini. Metode ini juga tidak
bernilai
ghalabatuz zhan (dugaan kuat), melainkan hakikatnya hanya perkiraan dan terkaan saja.
Syubhat kedua:
Para ahli fiqih merujuk pada para ahli yang pakar dibidangnya dalam
banyak permasalahan fiqih. Mereka merujuk kepada para dokter untuk
memutuskan seorang yang sakit itu boleh berbuka atau tidak. Mereka
merujuk kepada para ahli bahasa untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah.
Mereka juga rujuk kepada
ilmu hisab
dalam menentukan batas waktu seseorang disebut impoten dan perkiraan
usia menopouse, dan perkara-perkara yang lain. Oleh karena itu, sudah
selayaknya mereka juga merujuk pada ilmu hisab dan astronomi untuk
menentukan awal bulan Qamariyah dan akhirnya.
Jawaban:
Ada perbedaan antara merujuknya ulama kepada ahli hisab dengan
merujuknya ulama kepada para dokter, ahli bahasa, dan hal khusus yang
lain. Karena Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam telah memberi solusi pada masalah kita ini, yaitu dengan merujuk pada
ru’yatul hilal dan ia melarang untuk bergantung pada rujukan lain dalam hal ini. Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berlebaran hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)
Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melarang
untuk rujuk kepada para ahli kesehatan untuk memeriksa penyakit dan
menentukan kadar bahaya serta obatnya. Beliau tidak pernah melarang
untuk rujuk kepada ahli bahasa dalam memahami nash-nash. Bahkan beliau
memberikan
taqrir (persetujuan) terhadap perkara-perkara
tersebut, sedangkan itu semua terjadi di masa beliau dan juga masa para
sahabat. Bagaimana mungkin anda bisa memahami nash Al Qur’an dan Sunnah
tanpa bahasa arab. Bahasa arab merupakan satu-satunya wasilah untuk itu.
Adapun, klaim bahwa para fuqaha rujuk kepada ilmu hisab untuk
memperkirakan batas waktu menopouse atau semacamnya seperti yang
disebutkan, maka hukumnya terlarang jika yang dimaksud hisab di sini
adalah ilmu astronomi. Namun boleh hukumnya jika yang dimaksud hisab di
sini adalah memperkirakan perhitungan bulan Qamariyyah dengan mengacu
pada
ru’yatul hilal. Perhitungan tahun pun mengikuti
perhitungan bulan, karena satu tahun itu 12 bulan berdasarkan nash Al
Qur’an. Sedangkan perhitungan hari, maka merujuk pada acuan inderawi,
yaitu terbit dan tenggelamnya matahari.
Dengan ini jelaslah bahwa syariat dalam perkara-perkaranya tidak menggunakan patokan yang
khafiy (samar), seperti perhitungan astronomis. Namun yang dijadikan patokan adalah suatu yang zhahir dan global, seperti
ru’yah hilal, terbit matahari, tenggelam matahari.
Syubhat ketiga:
Penjadwalan awal dan akhir bulan puasa itu seperti penjadwalan
waktu-waktu shalat. Sebagaimana boleh menggunakan hisab dalam
penjadwalan waktu-waktu shalat, maka boleh juga menggunakannya untuk
menentukan awal dan akhir bulan puasa. Bahkan wajib merujuk pada para
ahli astronomi untuk menentukan awal dan akhir bulan Qamariyah,
sebagaimana kita merujuk pada perhitungan astronomi untuk menentukan
waktu pada daerah yang jumlah harinya lebih dari 24 jam.
Jawaban:
Imam As Subki membantah hal ini dengan dua poin:
- Dalam perkara waktu-waktu, syariat menjadikan keadaan aktual (al wujud) sebagai patokan. Allah Ta’alaberfirman:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat)” (QS. Al Isra: 78)
kemudian As Sunnah menjelaskan perinciannya. Sedangkan dalam perkata hilal, syariat menjadikan ru’yah sebagai patokan, sehingga otomatis keadaan aktual dari hilal (wujudul hilal) itu sendiri tidak teranggap dalam syariat.
- Kemunculan hilal itu samar, sehingga sering terjadi kesalahan dalam
memperkirakannya. Sebaliknya, penanda-penanda waktu (terbit-tenggelam
matahari, hilangnya senja, fajar shadiq, dll) tidaklah samar. Tidak
masalah jika ingin mengetahui posisi aktual hilal (wujudul hilal) atau kemungkinan munculnya (imkaanur ru’yah)
dengan menggunakan hisab. Namun syariat kita tidak menganggap hasilnya.
Andai mau melakukan hal yang sama (melakukan hisab) pada
penanda-penanda waktu, juga demikian. Namun syariat dalam hal ini
menjadikan posisi aktualnya (al wujud) sebagai patokan. Maka marilah kita ikuti saja apa yang ditetapkan oleh syariat.
Adapun mengenai orang yang tinggal di daerah yang satu harinya lebih
dari 24 jam, ia tetap wajib shalat dan puasa. Waktu shalat dan puasa
mereka di daerah tersebut mengikuti daerah terdekat yang jelas
waktu-waktu ibadahnya. Demikian juga jangka waktu
iddah,
ilaa’, penundaan dan lainnya.
Syubhat keempat:
Firman Allah
Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al Baqarah: 185)
Maknanya adalah, barangsiapa yang
‘alima (mengetahui)
masuknya bulan Ramadhan dengan adanya hilal di ufuk setelah matahari
tenggelam, ia wajib berpuasa. Baik ia mengetahui dengan melihat (
ru’yah) ataupun dengan hisab, dengan
imkaanur ru’yah
jika tidak ada penghalang. Baik ia mengetahui sendiri maupun dari kabar
orang lain yang dipercaya. Baik kadar beritanya itu meyakinkan atau
hanya kemungkinan besar benar (
ghalabatuz zhan).
Jawaban:
Asy syuhud itu maknanya
al hudhur (hadir; tidak sedang safar), bukan
al ilmu (mengetahui). Dalilnya adalah kelanjutan ayatnya,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185)
Andaikan kita maknai dengan
al ilmu, tetap saja ayat
tersebut tidak bisa menjadi hujjah bagi anda. Karena yang dimaksud al
ilmu itu adalah informasi yang didapat setelah melakukan
ru’yah, bukan hisab. Sebab, Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan puasa dan lebaran dengan
ru’yah secara khusus. Tujuannya agar penentuan puasa dan lebaran dengan
ru’yah secara khusus. Sebagaimana telah kami jelaskan bahwa ilmu hisab tidak dianggap dalam perkara ibadah.
Syubhat kelima:
Ilmu hisab itu dibangun dengan dasar-dasar yang sifatnya meyakinkan.
Maka berpatokan pada ilmu hisab dalam menentukan hilal dan mengetahui
posisinya, itu lebih mendekati kebenaran. Termasuk juga lebih tepat
dalam mewujudkan persatuan kaum muslimin dalam ibadah dan hari raya.
Juga lebih jauh dari perbedaan-perbedaan.
Jawaban:
Justru yang meyakinkan adalah dengan melihat benda langit atau
mendengar kabar tentang hal itu. Adapun memperkirakan posisi hilal,
secara akal pun, itu merupakan perkara yang sulit dilakukan dan metode
untuk melakukannya pun rumit, karena hilal itu samar. Oleh karena itu
tidak ada yang bisa melakukannya kecuali sedikit orang saja. Dan dalam
ilmu astronomi itu terjadi perbedaan-perbedaan dan juga kesalahan
sehingga tidak bisa dikatakan dekat dengan kebenaran. Sehingga tidak
dibenarkan berpegang padanya untuk menentukan hilal. Dan sesuatu yang
rawan terjadi perbedaan-perbedaan dan juga kesalahan tentu sulit
mewujudkan persatuan diantara kaum muslimin dalam ibadah dan hari raya
mereka. Juga sulit mencari kesepakatan jika terjadi perselisihan.
Adapun pendapat sebagian ulama masa kini tentang wajibnya berpatokan
pada ilmu hisab untuk menentukan hilal dalam setiap keadaan, baik cuaca
mendung atau cerah, tidak berpendapat demikian kecuali orang yang jauh
dari ilmu. Dan pendapat mereka telah tertolak dengan adanya
ijma ulama, sebagaimana telah kami jelaskan. Ibnu Taimiyah berkata:
فأما اتباع ذلك في الصحو، أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم
“Adapun berpatokan pada ilmu hisab dalam keadaan cuaca cerah, atau
menggunakannya secara umum, tidak ada ulama (salaf) yang berpendapat
demikian” (Majmu’ Fatawa, 25/133)
Wabillahit Taufiq, Wa Shallallahu’ala Nabiyina Muhammad Wa ‘ala Alihi Wasallam.
---------------------------------------------------------------------
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta, Kerajaan Saudi Arabia
Tertanda:
Ketua: Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Asy Syaikh
Wakil ketua: Syaikh Abdurrazaq Afifi
Anggota: Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al Mani’
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Ghuddayan