-->
Doa Pagi dan Petang (dibaca 3 kali)
اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ سِمْعِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَااِلهَ الِاَّ اَنْتَ
"Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada badanku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada pendengaranku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada penglihatanku, tiada Ilaah yang layak untuk diibadahi kecuali Engkau".
(Hadits Hasan Riwayat Abu Daud: 4/324 dan Ahmad: 5/42)

Selasa, Juli 16, 2013

Shaum itu Laksana Perisai

puasa-junnah

عن أبى هريرة رضى الله عنه تعالى أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال
الصيام جنة فلا يرفث ، ولا يجهل ، إن امرؤ قاتله أو شاتمه فليقل: إنى صائم مرتين ،والذى نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك . يترك طعامه وشرابه وشهوته من أجلى،الصيام لى وأنا أجزى به، والحسنة بعشر أمثالها
 حديث صحيح،رواه البخارى فى الجامع الصحيح ،رقم 1894
 
...::| Sekilas tentang Perowi Hadits |::...

  • Abu Hurairah r.a., beliau adalah ABDURRAHMAN BIN SHOKHR AD-DAUSY,
  • Nabi menamainya dengan Abu Hurairah ketika beliau SAW melihatnya membawa seekor kucing (HIRROH) di lengan bajunya. Abu Hurairah termasuk salah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari RasulillahJdan mengikuti (menyaksikan) semua peperangan yang dipimpin oleh Nabi (Al-Ghozwah).
...::| Terjemah Hadits |::...
Dari Abu Hurairah r.a., bahwasannya Rasulallah bersabda : "Shaum itu laksana perisai, maka janganlah berkata kotor atau keji, jangan bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mengajaknya bertengkar dan mencela  (mencacinya) maka katakanlah kepadanya "aku sedang shaum" dua kali. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum itu lebih harum disisi Allah dari pada harumnya minyak kasturi. (Allah berfirman) "Dia rela meninggalkan makanannya, minumannya, dan gejolak syakwatnya karena Aku. Shaum itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya, dan setiap kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali.
(Hadits Shohih, Diriwayatkan oleh al-Bukhori dalam al-Jami' ash-Shohih, No. Hadits : 1894)

...::| Syarah Hadits |::...
الصيام جنة "ash-Shiyaamu Junnatun" (Shaum itu laksana perisai) : maksudnya adalah mencegah dan menghalangi pelakunya dari perbuatan maksiyat, karena shaum dapat melemahkan gejolak syahwat; dikatakan juga mencegah dan menghalangi pelakunya dari api (neraka), karena shaum itu menahan diri dari gejolak syahwat sedangkan api (neraka) itu dipenuhi dengan gejolak syahwat.

Menurut at-Turmudzi dan Sa'ied bin Manshour maksudnya adalah perisai dari api (neraka).
Ahmad meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah bahwa shaum itu perisai selama pelakunya tidak membakarnya (merusaknya) dengan ghibah (tambahan dari Ad-Darimi), dan menurut ad-Darimi ketika pelaku shaum menahan dirinya dari perbuatan maksiyat di dunia, maka hal tersebut akan menghalanginya dari jilatan api neraka, karena pahala shaumnya akan menahan api neraka darinya di akhirat kelak.


"فلا يرفث"  maksudnya adalah jangan berkata kotor atau keji.

"ولا يجهل" maksudnya adalah jangan melakukan perbuatan seperti perbuatannya orang bodoh, seperti : mennjerit-jerit (berteriak dengan suara melengking), mengejek sesama, dan membodohi sesama.
Dari Sa'ied ibn Manshour : Tidak boleh berkata kotor atau keji, tidak boleh bertengkar, hal tersebut dilarang secara umum, baik di bulan Ramadhan (ketika shaum) ataupun tidak, akan tetapi pelarangannya di bulan Ramadhan (ketika shaum) lebih tegas dan lebih kuat..

"وإن امرؤ قاتله أو شاتمه" Iyadh berkata : قاتله maksudnya adalah (دافعه ونازعه) mengajak bertengkar, bisa juga bermakna (شاتمه و لاعنه) mencacinya/mencelanya dan melaknatnya,  terkadang (القتل) berarti (اللعن) melaknat, dan dalam sebuah riwayat "فإن سابه أحد أو ماراه يعنى جادله" (dan jika ada seseorang yang mencelanya atau memarahinya, maksudnya adalah mengajaknya untuk bertengkar).


"فليقل" (maka katakan) kepadanya dengan lisan atau cukup di dalam hati, atau dengan keduanya dan itu lebih utama. Dan dikatakan bahwa jika pada bulan Ramadhan katakan dengan lisan dan jika di luar Ramadhan cukup di dalam hati saja.


"إنى صائم مرتين" (sungguh saya sedang shaum, dua kali) karena dengan kata-kata ini dimungkinkan dapat menahan nafsunya, atau paling tidak meminimalisirnya.

"(و) الله (الذى نفسى بيده لخلوف فم الصائم)" (demi) Allah (Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum), maksudnya bahwa aroma mulut orang yang sedang shaum itu berubah (menjadi sangat tidak sedap/busuk) karena perutnya kosong dari makanan.

"أطيب عند الله من ريح المسك" (lebih baik/harum disisi Allah dari pada aroma minyak kasturi), maksudnya adalah nanti di akhirat.

Abu asy-Syaikh meriwayatkan dengan sanad yang lemah (dho'if) dari Anas (hadits marfu')
bahwasannya orang-orang yang shaum akan bangkit dari kubur-kubur mereka dengan bau mulut yang lebih harum disisi Allah dari aroma minyak kasturi. Maksudnya adalah bahwa Allah SWT membangkitkan mereka di akhirat dengan kondisi bau mulut mereka lebih harum dari aroma minyak kasturi, atau bau mulut mereka akan mengakibatkan mereka menerima balasan (pahala) yang lebih baik dari pada pahala karena memakai minyak kasturi pada hari Jum'at, misalnya pahala memakai minyak kastur.

( يترك)  أى الصائم (طعامه وشرابه وشهوته) (Allah berfirman : Dia "orang yang shaum" meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya), maksdunya adalah syahwat untuk berjima', sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Khuzaimah "ويدع زوجته من أجلى" dan dia meninggalkan istrinya karena Aku.
   
"من أجلى، الصيام لى" (karena Aku, shaum itu untuk Aku), maksudnya adalah bahwa shaum itu ibadah yang paling istimewa disisi Allah dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, karena tidak ada sesembahan selain Allah yang diibadahi dengan bershaum, atau juga karena ibadah shaum ini adalah ibadah yang sifatnya sangat rahasia, rahasia antara pelakunya dan Allah, dimana ia melakukannya semata-mata benar-benar karena Allah saja.


"وأنا أجزى" (dan Saya yang akan membalasnya), sudah lumrah kiranya ketika yang dimuliakan secara langsung, dengan tangannya sendiri, memberikan sesuatu kepada yang memuliakannya, hal itu menunjukkan betapa agungnya nilai pemberian itu.

Pemberian ini (pahala shaum) berlipat ganda lagi tak terhiingga.


"والحسنة بعشر امثالها" (dan setiap kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali), maksudnya adalah bahwa segala amal kebaikan yang dikerjakan di bulan Ramadhan pahalanya dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan dalam al-Muwaththa' ada tambahan "الى سبعمائة ضعف" sampai 700 kali lipat, maksudnya pahala shaum tidak hanya dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, akan tetapi bisa sampai 700 kali lipat.

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Selasa, Juli 09, 2013

Syubhat-Syubhat Ahlul Hisab untuk 1 Ramadhan


oleh: Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’

A. Syubhat pertama:

Allah Ta’ala menjadikan matahari, bulan dan bintang sebagai tanda kekuasaan Allah bagi manusia. Allah memberikan berbagai nikmat melalui mereka. Allah juga membimbing manusia untuk mengambil pelajaran dan mengambil manfaat dari posisi dan perjalanan mereka. Karena Allah mengatur mereka dengan perhitungan yang tanpa cacat dan tidak akan berbenturan. Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui(QS. Yunus: 5)
Allah juga berfirman:

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas (QS. Al Isra: 12)
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan(QS. Ar Rahman: 5)

Jika sekelompok orang (pakar astronomi) sudah mengetahui munculnya hilal menggunakan ilmu hisab secara yakin setelah matahari tanggal 29 tenggelam atau lebih dari itu, atau mengetahui munculnya hilal dengan imkanur ru’yah jika terhalang. Jika sekelompok orang tersebut mengabarkan kepada kami sampai kabarnya mencapai kadar mutawatir, maka wajib diterima. Karena pengetahuan mereka dibangun atas faktor inderawi dan persaksian. Mereka juga tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena kabarnya sampai kadar mutawatir. Andai tidak sampai mutawatir pun, kabar mereka bernilai ghalabatuz zhan bahwa hilal sudah muncul atau berupa dugaan muncul berdasarkan imkanur ru’yah. Ghalabatuz zhan itu sudah mencukupi untuk menjadi dasar sebuah amal. Sehingga wajib menerima kabar mereka dan menyerahkan urusan jadwal-jadwal ibadah dan muamalah kepada mereka.

Jawaban:
Kami menerima bahwa matahari, bulan dan bintang adalah tanda kekuasaan Allah bagi manusia. Dan juga bahwa mengambil manfaat serta ber-tafakkur dengan keadaan serta perjalanan mereka itu wajib. Dengan demikian kita akan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang bisa menerangi hati, akan mengokokohkan aqidah yang shahih, serta menimbulkan ketenangan hati. Kita juga akan bisa menemukan kebesaran dan keajaiban ciptaan-Nya. Namun, Allah Subhanaahu Wa Ta’ala tidak membebani kita untuk mengetahui perhitungan-perhitungan dari perjalanan matahari, bulan dan bintang untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan muamalah, atau untuk sekedar mengetahui kapan mereka muncul. Ini merupakan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Karena perhitungan-perhitungan tersebut adalah perkara yang khafiy (samar), tidak diketahui kecuali oleh sedikit orang saja. Karena sifatnya yang khafiy itu juga, menyebabkan ia rawan terjadi kesalahan perhitungan dan pendapat-pendapat yang berbenturan. Maka syariat kita menjadikan metode lain sebagai patokan. Seperti ru’yatul hilal, terbi-tenggelamnya matahari, hilangnya senja, bayangan putih fajar, atau semacamnya, yang bisa nampak oleh semua manusia sehingga mereka bisa menjadikannya patokan dalam waktu-waktu ibadah, muamalah dan jadwal hidup mereka. Dengan metode itu juga ditentukan jumlah tahun, bulan dan hari, bukan dengan mengitung perjalanan benda-benda langit.

Adapun pengetahuan sekelompok ahli astronomi tentang kemunculan hilal secara yakin sebagaimana anda disebutkan, bahwa pengetahuan mereka dibangun atas penerimaan inderawi dan musyahadah (persaksian langsung), ini tidak benar. Karena adanya perselisihan dan perbedaan-perbedaan dalam hasil perhitungan mereka. Ini menunjukkan salahnya alasan mereka. Selain itu, ilmu mereka itu tidak dibangun atas dasar penerimaan  inderawi dan musyahadah. Karena yang namanya musyahadah itu sesuatu yang bisa di-indera, dalam hal ini mengindera benda-benda langit. Sedangkan memperkirakan perjalanan benda-benda langit, ini merupakan hasil olah otak, bukan hasil dari meng-indera. Dan sebagian besarnya, terjadi perselisihan dan perbedaan hasil perhitungan. Maka, kabar dari mereka (ahli astronomi) meski mencapai kadar mutawatir, tidaklah bernilai qath’i dan yakin akan kebenaran kabar tersebut. Karena salah satu syarat kabar mutawatir bisa bernilai qath’i adalah penyampai awal dari kabar mendapatnya dari sumber kabar secara inderawi. Sedangkan mereka menyandarkan kabar mereka pada perkiraan dan perhitungan perjalanan benda-benda langit.

Sehingga secara logis, metode ini tidak aman dari kesalahan. Sebagaimana kabar dari orang filsafat tentang penciptaan alam. Selain itu juga, penolakan syariat terhadap metode ini menunjukkan tidak benarnya metode ini. Metode ini juga tidak bernilai ghalabatuz zhan (dugaan kuat), melainkan hakikatnya hanya perkiraan dan terkaan saja.

Syubhat kedua:

Para ahli fiqih merujuk pada para ahli yang pakar dibidangnya dalam banyak permasalahan fiqih. Mereka merujuk kepada para dokter untuk memutuskan seorang yang sakit itu boleh berbuka atau tidak. Mereka merujuk kepada para ahli bahasa untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Mereka juga rujuk kepada ilmu hisab dalam menentukan batas waktu seseorang disebut impoten dan perkiraan usia menopouse, dan perkara-perkara yang lain. Oleh karena itu, sudah selayaknya mereka juga merujuk pada ilmu hisab dan astronomi untuk menentukan awal bulan Qamariyah dan akhirnya.

Jawaban:
Ada perbedaan antara merujuknya ulama kepada ahli hisab dengan merujuknya ulama kepada para dokter, ahli bahasa, dan hal khusus yang lain. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memberi solusi pada masalah kita ini, yaitu dengan merujuk pada ru’yatul hilal dan ia melarang untuk bergantung pada rujukan lain dalam hal ini. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه

Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berlebaran hingga engkau melihat hilal” (HR. Muslim 1080)
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah melarang untuk rujuk kepada para ahli kesehatan untuk memeriksa penyakit dan menentukan kadar bahaya serta obatnya. Beliau tidak pernah melarang untuk rujuk kepada ahli bahasa dalam memahami nash-nash. Bahkan beliau memberikan taqrir (persetujuan) terhadap perkara-perkara tersebut, sedangkan itu semua terjadi di masa beliau dan juga masa para sahabat. Bagaimana mungkin anda bisa memahami nash Al Qur’an dan Sunnah tanpa bahasa arab. Bahasa arab merupakan satu-satunya wasilah untuk itu. Adapun, klaim bahwa para fuqaha rujuk kepada ilmu hisab untuk memperkirakan batas waktu menopouse atau semacamnya seperti yang disebutkan, maka hukumnya terlarang jika yang dimaksud hisab di sini adalah ilmu astronomi. Namun boleh hukumnya jika yang dimaksud hisab di sini adalah memperkirakan perhitungan bulan Qamariyyah dengan mengacu pada ru’yatul hilal. Perhitungan tahun pun mengikuti perhitungan bulan, karena satu tahun itu 12 bulan berdasarkan nash Al Qur’an. Sedangkan perhitungan hari, maka merujuk pada acuan inderawi, yaitu terbit dan tenggelamnya matahari.

Dengan ini jelaslah bahwa syariat dalam perkara-perkaranya tidak menggunakan patokan yang khafiy (samar), seperti perhitungan astronomis. Namun yang dijadikan patokan adalah suatu yang zhahir dan global, seperti ru’yah hilal, terbit matahari, tenggelam matahari.

Syubhat ketiga:

Penjadwalan awal dan akhir bulan puasa itu seperti penjadwalan waktu-waktu shalat. Sebagaimana boleh menggunakan hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat, maka boleh juga menggunakannya untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa. Bahkan wajib merujuk pada para ahli astronomi untuk menentukan awal dan akhir bulan Qamariyah, sebagaimana kita merujuk pada perhitungan astronomi untuk menentukan waktu pada daerah yang jumlah harinya lebih dari 24 jam.

Jawaban:
Imam As Subki membantah hal ini dengan dua poin:
  1. Dalam perkara waktu-waktu, syariat menjadikan keadaan aktual (al wujud) sebagai patokan. Allah Ta’alaberfirman:

    أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
    Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)(QS. Al Isra: 78)
    kemudian As Sunnah menjelaskan perinciannya. Sedangkan dalam perkata hilal, syariat menjadikan ru’yah sebagai patokan, sehingga otomatis keadaan aktual dari hilal (wujudul hilal) itu sendiri tidak teranggap dalam syariat.
  2. Kemunculan hilal itu samar, sehingga sering terjadi kesalahan dalam memperkirakannya. Sebaliknya, penanda-penanda waktu (terbit-tenggelam matahari, hilangnya senja, fajar shadiq, dll) tidaklah samar. Tidak masalah jika ingin mengetahui posisi aktual hilal (wujudul hilal) atau kemungkinan munculnya (imkaanur ru’yah) dengan menggunakan hisab. Namun syariat kita tidak menganggap hasilnya. Andai mau melakukan hal yang sama (melakukan hisab) pada penanda-penanda waktu, juga demikian. Namun syariat dalam hal ini menjadikan posisi aktualnya (al wujud) sebagai patokan. Maka marilah kita ikuti saja apa yang ditetapkan oleh syariat.
Adapun mengenai orang yang tinggal di daerah yang satu harinya lebih dari 24 jam, ia tetap wajib shalat dan puasa. Waktu shalat dan puasa mereka di daerah tersebut mengikuti daerah terdekat yang jelas waktu-waktu ibadahnya. Demikian juga jangka waktu iddah, ilaa’, penundaan dan lainnya.

Syubhat keempat:

Firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS. Al Baqarah: 185)

Maknanya adalah, barangsiapa yang ‘alima (mengetahui) masuknya bulan Ramadhan dengan adanya hilal di ufuk setelah matahari tenggelam, ia wajib berpuasa. Baik ia mengetahui dengan melihat (ru’yah) ataupun dengan hisab, dengan imkaanur ru’yah jika tidak ada penghalang. Baik ia mengetahui sendiri maupun dari kabar orang lain yang dipercaya. Baik kadar beritanya itu meyakinkan atau hanya kemungkinan besar benar (ghalabatuz zhan).

Jawaban:
Asy syuhud itu maknanya al hudhur (hadir; tidak sedang safar), bukan al ilmu (mengetahui). Dalilnya adalah kelanjutan ayatnya,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain(QS. Al Baqarah: 185)

Andaikan kita maknai dengan al ilmu, tetap saja ayat tersebut tidak bisa menjadi hujjah bagi anda. Karena yang dimaksud al ilmu itu adalah informasi yang didapat setelah melakukan ru’yah, bukan hisab. Sebab, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengaitkan puasa dan lebaran dengan ru’yah secara khusus. Tujuannya agar penentuan puasa dan lebaran dengan ru’yah secara khusus. Sebagaimana telah kami jelaskan bahwa ilmu hisab tidak dianggap dalam perkara ibadah.

Syubhat kelima:
Ilmu hisab itu dibangun dengan dasar-dasar yang sifatnya meyakinkan. Maka berpatokan pada ilmu hisab dalam menentukan hilal dan mengetahui posisinya, itu lebih mendekati kebenaran. Termasuk juga lebih tepat dalam mewujudkan persatuan kaum muslimin dalam ibadah dan hari raya. Juga lebih jauh dari perbedaan-perbedaan.

Jawaban:
Justru yang meyakinkan adalah dengan melihat benda langit atau mendengar kabar tentang hal itu. Adapun memperkirakan posisi hilal, secara akal pun, itu merupakan perkara yang sulit dilakukan dan metode untuk melakukannya pun rumit, karena hilal itu samar. Oleh karena itu tidak ada yang bisa melakukannya kecuali sedikit orang saja. Dan dalam ilmu astronomi itu terjadi perbedaan-perbedaan dan juga kesalahan sehingga tidak bisa dikatakan dekat dengan kebenaran. Sehingga tidak dibenarkan berpegang padanya untuk menentukan hilal. Dan sesuatu yang rawan terjadi perbedaan-perbedaan dan juga kesalahan tentu sulit mewujudkan persatuan diantara kaum muslimin dalam ibadah dan hari raya mereka. Juga sulit mencari kesepakatan jika terjadi perselisihan.

Adapun pendapat sebagian ulama masa kini tentang wajibnya berpatokan pada ilmu hisab untuk menentukan hilal dalam setiap keadaan, baik cuaca mendung atau cerah, tidak berpendapat demikian kecuali orang yang jauh dari ilmu. Dan pendapat mereka telah tertolak dengan adanya ijma ulama, sebagaimana telah kami jelaskan. Ibnu Taimiyah berkata:

فأما اتباع ذلك في الصحو، أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم

“Adapun berpatokan pada ilmu hisab dalam keadaan cuaca cerah, atau menggunakannya secara umum, tidak ada ulama (salaf) yang berpendapat demikian” (Majmu’ Fatawa, 25/133)

Wabillahit Taufiq, Wa Shallallahu’ala Nabiyina Muhammad Wa ‘ala Alihi Wasallam.
 ---------------------------------------------------------------------
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta, Kerajaan Saudi Arabia

Tertanda:
Ketua: Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Asy Syaikh
Wakil ketua: Syaikh Abdurrazaq Afifi
Anggota: Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al Mani’
Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Ghuddayan
Source : 
http://muslim.or.id/ramadhan/syubhat-syubhat-ahlul-hisab-dalam-penentuan-bulan-qamariyah.html

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

 
back to top