-->
Doa Pagi dan Petang (dibaca 3 kali)
اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ سِمْعِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَااِلهَ الِاَّ اَنْتَ
"Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada badanku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada pendengaranku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada penglihatanku, tiada Ilaah yang layak untuk diibadahi kecuali Engkau".
(Hadits Hasan Riwayat Abu Daud: 4/324 dan Ahmad: 5/42)

Jumat, Oktober 21, 2011

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 1 / 4 Tulisan ]

Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan diri pribadi (self contruction) dan penataan sosial (social contruction), sehingga diharapkan pada akhirnya umat Islam dapat dan mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari. Dan sehingga pula umat Islam dapat dan mampu memikul amanat yang telah diberikan kepadanya sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pemberi amanat. 

Pendidikan Islam bertujuan untuk mencetak kader-kader Khalifatullah fi al- Ardhi yang memiliki beragam kompetensi yang akan didayagunakan dalam upaya memakmurkan dan melestarikan bumi sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu pendidikan semacam ini memerlukan sebuah referensi yang multikompleks, yang kandungan isinya mencakup berbagai aspek hidup dan kehidupan, baik hidup dan kehidupan di dunia maupun di khirat. Referensi yang dimaksudkan adalah al-Qur'an al-Karim, yang merupakan rujukan yang utama dan yang pertama dalam pendidikan Islam.

Dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13 terkandung makna yang luas dan mendalam, kandungan isinya berisi pembahasan mengenai akhlak terhadap sesama kaum muslim. Ayat ini dapat dijadikan pedoman dalam upaya mewujudkan sebuah kehidupan yang harmonis, tentram dan damai.

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tentu tidak ingin haknya tergganggu. Oleh karenanya sangat penting bagi setiap muslim untuk memahami kandungan isi surat al-Hujuraat ayat 11-13 ini, sehingga ia bias menghindarkan dirinya dari sikap dan perbuatan yang akan mengganggu hak dan kehormatan saudaranya, dan dengan demikian akan tercipta kehidupan masyarakat muslim harmonis, tenteram, dan damai. Karena setiap individu masyarakatnya senantiasa menjaga kehormatan saudaranya serta memenuhi hak-haknya terhadap saudaranya itu.

Berikut adalah beberapa permasalahan pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13:

1. Menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin
Pendidikan akhlak tentang menjujung tinggi kehormatan kaum muslimin terdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 11-12: 
49_11
qs.al-hujuraat+ayat+12
Artinya:
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Secara tersurat dalam kedua ayat tersebut di atas terdapat berbagai sikap dan perbuatan yang harus dihindari oleh setiap muslim, kesemuanya itu harus senantiasa diupayakan dalam rangka mengormati dan menghargai serta menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin.

Seorang muslim mempunyai hak atas saudaranya sesama muslim, bahkan dia mempunyai hak yang bermacam-macam, hal ini telah banyak dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam banyak tempat. "Mengingat bahwa orang muslim terhadap muslim lainnya adalah bersaudara, bagaikan satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengaduh sakit maka sekujur tubuhnya akan merasakan demam dan tidak bisa tidur" (Muhammad Nasib Rifa'i, 2000: 429). Oleh karena itu, sangatlah rasional apabila setiap muslim harus senantiasa menjaga kehormatan sesamanya, memberikan pertolongan (dalam hal kebaikan) apabila ada saudaranya yang membutuhkan bantuan, dan menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang akan menyakiti pendengaran dan perasaannya.

Sehubungan dengan sikap dan perbuatan menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin ini, Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ عَبْدِاللهِ بِنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوْفُ بِالْكَعْبَة وَيَقُوْلُ: مَا أَطْيَبُ وَأَطْيَبُ رَيْحُكَ, مَا أَعْظَمُكَ وَأَعْظَمُ حُرْمَتُكَ, وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ حُرمَةً مِنْكَ, مَالُهُ وَدَمُهُ وَأَنْ يَظُنَّ بِهِ إِلاَّ خَيْرًا

Artinya:
Dari Abdullah bin Umar bin Khaththab r.a., ia berkata: "Saya melihat Nabi Saw sedang berthawaf (mengelilingi Ka'bah), kemudian beliau Saw bersabda: "Alangkah wangi dan harumnya kalian dan sungguh kalian sangat wangi dan harum, alangkah agungnya engkau dan sungguh sangat agung kehormatan kalian, dan demi jiwa Muhammad yang ada di tangan -Nya (Allah SWT), Sungguh kehormatan seorang mukmin lebih agung di sisi Allah SWT dari kehormatan diri kalian, (oleh karenanya) jangan ganggu hartanya, jangan tumpahkan darahnya (dengan membunuhnya), dan janganlah kalian berprasangka kepadanya kecuali dengan prasangka yang baik". (HR. Ibnu Majah)

Adapun tuntunan dan cara menjaga serta menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-12 adalah sebagai berikut:

Pertama, لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ : yaitu menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk mengolok-olok sesama. Sikap atau perbuatan mengolok-olok sesama dengan mengejeknya atau pun mehinanya, merupakan wujud dari sikap merendahkan martabat dan derajat orang lain dan sekaligus menunjukkan bahwa sikap tersebut tidak menjunjung kehormatan kaum muslimin. Padahal sikap menjunjung kehormatan kaum muslimin merupakan kewajiban bagi setiap umat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad Saw berikut ini:

وَعَنْ أَبٍيْ هُرُيْرُةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَخُوْنُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ, كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ, اَلتَّقْوَى ههُنَا بِحَسْبِ امْرْئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمِ (رواه الترمذى وقال: حديث حسن)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulallah Saw bersabda: "Sesama Muslim adalah bersaudara, sesama Muslim tidak boleh menghianati, mendustai, dan menghinakannya, sesama Muslim haram mengganggu kehormatan, harta, dan darahnya, takwa itu ada di sini (sambil menunjuk dadanya), seseorang cukup dianggap jahat apabila ia menghina saudaranya yang Muslim". (HR. Tirmidzi dan ia berkata: "Hadis ini Hasan") (Sholih bin Abdul Aziz, 1999: 449)

Dari hadist tersebut di atas dapat dipahami bahwa mengolok-olok orang lain adalah haram hukumnya, siapa saja yang melakukannya maka ia akan mendapat dosa yang setimpal atas kesalahannya tersebut. Sikap mengolok-olok timbul karena adanya anggapan bahwa dirinya merasa lebih baik dari pada orang lain, dan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang nampak dari lahirnya saja. Padahal ada kemungkinan seseorang yang tampak mengerjakan amal kebaikan, dalam hatinya terkandung niat-niat yang tercela, sebaliknya ada kemungkinan pula seseorang yang kelihatan melakukan yang perbuatan yang buruk, padahal Allah SWT melihat dalam hatinya ada penyesalan yang besar serta mendorong dirinya untuk segera bertaubat atas dosa yang pernah dilakukannya. Maka dari itu, amal yang nampak dari luar hanyalah merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai kepada tingkat meyakinkan.

Menurut Ibnu Katsir, perbuatan mengolok-olok orang lain dengan merendahkan martabatnya/derajatnya dan mengejeknya dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan dalam Islam, hal tersebut dikarenakan bisa jadi orang yang direndahkan martabatnya itu lebih baik/tinggi derajat dan martabatnya, dan mungkin pula lebih dicintai di sisi Allah SWT dari pada orang yang merendahkannya itu. (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 270)

Sikap atau perbuatan tersebut di atas juga merupakan sebuah menifestasi aksi kesombongan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits berikut ini :
أَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْصُ النَّاسِ - وَيُرْوَى - وَغَمْطُ النَّاسِ
Artinya:
"Kesombongan adalah menolak kebenaran (al-Haqq) dan merendahkan derajat manusia. (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 270)
 
Kedua, وَلاَ تَلْمِزُوْا أَنْفُسَكُمْ : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk mencela sesama. Ibnu Tafsir (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 271) menjelaskan bahwa maksud dari kalimat tersebut di atas adalah maksudnya adalah لاَ تَلْمِزُوْاالنَّاسَ "jangan mencela manusia. Beliau juga menerangkan bahwa sikap atau perbuatan mengumpat dan mencela sesama adalah sikap atau perbuatan yang dibenci dan dikecam dalam Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
qs.al-humazah+ayat+1
Artinya:
"Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela" (QS. Al-Humazah, 104 : 1)
Ketiga, وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ : Menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan untuk memanggil sesama dengan panggilan-panggilan yang buruk. Memanggil orang lain dengan panggilan-panggilan yang buruk atau jelek adalah sikap dan perbuatan yang tercela yang akan menyakiti perasaan dan merendahkan derajat serta martabat orang yang dipanggil tersebut.

Imam Ahmad r.a. menjelaskan bahwa ayat ini turun terkait dengan kebiasaan bani Salamah, yang senantiasa memanggil sesamanya dengan panggilan-panggilan yang buruk. Berikut adalah peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (Asbaab an-Nuzuul) ayat ini :

قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ, وَلَيْسَ فِيْنَا رَجُلٌ إِلاَّ وَلَهُ إِسْمَاَنِ أَوْ ثَلاَثَةٌ, فَكَانَ إِذَا دَعَا وَحِدًا مِنْهُمْ بِاسْمٍ مِنْ تِلْكَ اْلآَسْمَاءِ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَغْضَبُ مِنْ هذَا, فَنُزِلَتْ (وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ). (رواه أبو داود عن موسى بن إسماعيل عن وهيب عن داود)

Artinya:
"Ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah (pada peristiwa Hijrah), setiap orang laki-laki di antara kami memiliki dua atau tiga nama. Dan ketika salah seorang di antara kami memanggil dengan salah satu nama-nama tersebut (panggilan/nama yang jelek), mereka bertanya kepada Rasulullas Saw: Wahai Rasulullah Saw! Sesungguhnya ia akan marah karena panggilan tersebut, kemudian turunlah ayat ini (وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ). (HR. Abu Daud dari Musa dari bin Ismail dari Wuhaib dari Daud) (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 271)

Keempat, إِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan berprasangka buruk terhadap sesama. Berprasangka buruk (negatif thinking) merupakan sifat atau sikap yang sangat dilarang dalam ajaran Islam. Ia merupakan akhlak tercela yang pelakunya akan mendapat dosa, oleh karenanya harus ditinggalkan.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berfikir positif "berprasangka baik" (positif thinking), khususnya kepada orang-orang yang berkepribadian mulia (sholeh). Oleh karenanya, sifat atau sikap husnudhdhan (positif thinking) haruslah dibiasakan agar menjadi pribadi yang unggul lagi mulia.

Rasulallah Saw dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa umat muslim harus menjauhi sifat dan sikap berprasangka buruk yang tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَنَافَسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا, وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَنًا (رواه البخاري)
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: "Jauhilah oleh kalian sifat buruk sangka, karena sifat buruk sangka itu merupakan perkataan yang paling bohong, janganlah kalian saling mencari-cari aib, janganlah kaliam saling memata-matai, janganlah kalian saling bersaing, janganlah kalian benci-membenci, janganlah kalian bertengkar, janganlah kaliam bermusuhan, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara". (HR. Bukhori) (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 271)

Berprasangka buruk adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek orang lain tanpa adanya sebab-sebab yang jelas yang memperkuat dugaan dan sakwa-sangka tersebut . Berburuk sangka seperti dinyatakan dalam hadits tersebut di atas sebagai sedusta-dustanya perkataan. Orang yang telah berburuk sangka terhadap orang lain berarti telah menganggap jelek kepadanya padahal ia tidak memiliki dasar sama sekali. Sikap berburuk sangka akan mengganggu hubungannya dengan orang yang dituduh jelek, padahal orang tersebut belum tentu sejelek persangkaannya.

Prasangka buruk itu ada tiga macam, yaitu:
  • Prasangka buruk yang dilarang dan diharamkan, seperti berprasangka buruk kepada Allah SWT dan kepada hamba-hamba -Nya yang shalih.
  • Prasangka buruk yang disunnahkan, seperti berprasangka buruk terhadap orang-orang yang memperlihatkan kefasikan, sebagaimana sabda Nabi Saw:
مِنَ الْحَزْمِ الظَّنُّ
Artinya:
"Termasuk kebijaksaan adalah berburuk sangka (kepada orang fasiq)
  • Prasangka buruk yang dimubahkan, seperti berprasangka buruk dalam hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah fiqih dalam rangka berijtihad (K.H.Q. Shaleh, 1976: 269-270).
Adapun prasangka buruk yang dimaksud dalam surat al-Hujuraat ayat 12 ini adalah prasangka buruk yang diharamkan, yakni berprasangka buruk terhadap orang-orang yang berkepribadian mulia (sholeh). Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy-Syaukani bahwa yang dimaksud dengan lafadz إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ pada ayat ke -12 surat al-Hujurat adalah ظَنُّ السُّوْءِ بِأَهْلِ الْخَيْرِ, yakni berprasangka buruk kepada orang-orang yang berkepribadian baik (sholeh). (Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, 1998: 686)

Kelima, وَلاَ تَجَسَّسُوْا : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan mencari-cari dan menyebarluaskan kejelekan (aib/cacat) sesama. Lafadz وَلاَ تَجَسَّسُوْا maksudnya adalah لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ, yakni jangan mencari-cari aurat/aib (kejelekan) orang-orang islam.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ ا مَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُخْلِصِ ا ْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِ
الْمُسْلِمِيْنَ. فِإِنَّ مَنْ تَتَّبَعَ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ وَلَوْ كَانَ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya dan belum meresap iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mencari-cari cacat/cela kaum muslimin. Barang siapa yang mencari-cari cacat/cela kaum muslimin, Allah akan mencari cacat/celanya, sehingga ia mereasa malu sekalipun berada di dalam rumahnya".(HR. Abu Daud) (Kholid Abdurrahman al-'Akk, 1994: 517)

Menurut Ibnu Katsir lafadz تَجَسُّسْ adalah antonim dari تَحَسُّسْ, dimana lafadz تَجَسُّسْ biasa digunakan untuk hal-hal yang jelek (mencari-cari aib/cacat) sementara lafadz تَحَسُّسْ biasanya digunakan untuk hal-hal yang baik (mencari-cari kebaikan orang lain). Dan terkadang kedua lafadz tersebut digunakan secara bersamaan untuk hal-hal yang jelek, sebagaimana pendapat al-Auza'i, bahwa lafatdz تَجَسُّسْ maksudnya adalah البحث عن الشيئ (al-Bahtsu an asy-Syai'), yaitu mencari-cari sesuatu (kejelakan orang lain), sedangkan lafadz تَحَسُّسْ maksudnya adalah ألإستماع إلى حديث القوم وهم له كارهون (al-Istima' ila hadits al-Qaum wahum lahu kaarihuun), yakni mendengarkan pembicaraan suatu kaum yang tengah memperbincangkan orang yang dibenci kaum tersebut. (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 272)

Keenam, وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا : menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan Ghibah. Ghibah adalah menyebut-nyebut sesuatu yang melekat pada diri orang lain yang apabila orang lain itu mendengarnya ia tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu hurairah dijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw ditanya tentang ghibah dan Rasulullah Saw menjawab bahwa ghibah itu adalah: "engkau menyebut-nyebut tentang saudaramu yang tidak disukainya", kemudian Rasulullah Saw ditanya lagi tentang bagaimana jika yang disebut-sebutkan itu suatu kebenaran, dan beliau Saw menjawab: "jika benar apa yang engkau sebut-sebutkan itu, maka engkau telah mmempergunjingkannya (ghibah), dan jika tidak benar, maka engkau telah merendahkan derajatnya". (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 272)

Ghibah adalah perbuatan yang sangat diharamkan dalam Islam. Sehingga dalam surat al-Hujuraat ayat 12 ini Allah membuat perumpamaan tentang orang yang mempergunjingkan saudaranya sebagai orang yang mau memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Tentu saja hal ini tidak akan disukainya, karena ia akan merasa jijik. Oleh karena itu pula setiap muslim tidak akan menyukai perbuatan mempergunjingkan sesamanya, karena dosanya lebih besar dari sekedar memakan daging bangkai sesama muslim.

Keenam sikap dan perbuatan tersebut di atas, yakni mengolok-olok, mencela, memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk, berprasangka buruk, mencari-cari cela/aib, dan mempergunjingkan sesama adalah sikap dan perbuatan yang tentunya akan menyakiti pendengaran dan perasaan orang lain, yang berarti wujud dari sikap dan perbuatan yang tidak menghargai kehormatan sesama muslim. Oleh karenanya dalam upaya menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, kita harus benar-benar menjauhi keeenam sikap dan perbuatan tercela tersebut di atas.##


Baca bag. [1] [2] [3] [4]

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

 
back to top