-->
Doa Pagi dan Petang (dibaca 3 kali)
اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ سِمْعِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَااِلهَ الِاَّ اَنْتَ
"Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada badanku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada pendengaranku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada penglihatanku, tiada Ilaah yang layak untuk diibadahi kecuali Engkau".
(Hadits Hasan Riwayat Abu Daud: 4/324 dan Ahmad: 5/42)

Sabtu, Juli 02, 2011

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 4 / 4 Tulisan ]

(Bagian 4 dari 4 Tulisan)

..::|4|::..Ta'aruf

Pendidikan akhlak tentang ta'aruf (sikap dan perilaku untuk saling mengenal terhadap sesama) terdapat dalam surat al-hujuraat ayat 13, yaitu:

"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal………….". (QS. Al-Hujuraat, 49: 13)

Maha suci Dzat yang telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, padahal pada awalnya manusia berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa. Dengan kekuasaan dan kehendaknya terlahir manusia yang berbeda ras dan warna kulit, dan sudah menjadi sunah-Nya bahwa segala yang diciptakannya tidak sia-sia. Perbedaan semua itu adalah agar semua manusia satu sama lain melakukan ta'aruf (saling mengenal sesama). Karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bermasyarakat dan bantuan orang lain. Dengan ta'aruf pula rasa saling menyayangi akan timbul di antara sesama. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Katsir, yaitu bahwa maksud dari lafadz لتعارفوا pada ayat tersebut di atas adalah لِيَحْصُلَ التَّعَارُفَ بَيْنَهُمْ (dimaksudkan untuk saling mengenal di antara mereka). (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277)

Ayat tersebut semakin menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bekerja sama (dalam kebaikan) sekaligus menafikan sifat kesombongan dan membanggakan diri yang disebabkan oleh adanya perbedaan nasab (keturunan). Ayat ini juga dapat dipahami bahwa diciptakannya manusia untuk mengenal Tuhannya. (Fahrur Razi, tt: 138)

Untuk menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang harmonis tidak cukup hanya berhenti pada ta'aruf (saling mengenal), akan tetapi harus ditindaklanjuti (follow up) dengan usaha dan upaya pembinaan dan pemupukkan yang berkesinambungan yang akan dapat mewujudkan keharmaonisan hubungan tersebut dapat bertahan lama (langgeng). Upaya ini dikenal dengan istilah silaturrahim. Silaturrahim artinya menyambungkan tali persaudaraan. Silaturrahim merupakan ajaran yang harus senantiasa dipupuk dan dibina agar bisa tumbuh dengan subur di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Selain itu, silaturrahim memiliki nilai yang luas dan mendalam, yang tidak hanya sekedar menyambungkan tali persaudaraan, lebih dari pada itu, silaturrahim juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah untuk membuka pintu-pintu sumber rezeki (penghidupan) dan sarana untuk menjadikan umur menjadi lebih berbarokah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :

عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ سّرَّهُ أَنْ يَبْسُطَ لَهُ رِزْقُهُ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ أَثَرُهُ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رواه البخاري)

Artinya:
Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah Saw bersabda: "Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan famili (kerabat)". (HR Bukhari) (Mustafa Dhaib Bigha, 1999: 291)

Hadits di atas kalau dicermati dengan seksama sangatlah logis, orang yang selalu bersilaturrahim tentunya akan memiliki banyak teman relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam membuka peluang usaha/bisnis. Selain itu dengan banyak teman, akan memperbanyak saudara dan berarti pula telah berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, hal ini karena telah melaksanakan salah satu perintahnya yang menyambungkan tali silaturrahim.

Silaturrahim merupakan sifat terpuji yang harus senantiasa dibiasakan, karena memiliki banyak manfaat. Menurut Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, seperti dikutip oleh Rahmat Syafi'i (2003: 210), keuntungan bersilaturrahim ada sepuluh, yaitu:

  1. Memperoleh ridha Allah SWT karena Dia yang memerintahkannya;
  2. Membuat gembira orang lain;
  3. Menyebabkan pelakunya menjadi disukai malaikat;
  4. Mendatangkan pujian kaum Muslimin padanya;
  5. Membuat marah iblis;
  6. Memanjangkan usia;
  7. Menambah barakah rezekinya;
  8. Membuat senang kaum kerabat yang telah meninggal, karena merek senang jika anak cucunya selalu bersilaturrahim;
  9. Memupuk rasa kasih sayang di antara keluarga/famili sehingga timbul semangat saling membantu ketika berhajat; dan
  10. Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang, dan didoakan karena kebaikannya.
Seseorang yang memutuskan silaturrahim tidak akan mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat, yaitu bahwa ia akan diancam dengan siksa neraka yang pedih. Dalam hal ini Rasulallah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ, قَالَ سُفْيَاتُ: وَفِيْ رِوَايَةٍ يَعْنِيْ قَاطِعُ الرَّحْمِ (متفق عليه)

Artinya:
Dari Abu Muhammad (Jubair) bin Muth'im ra., bahwa Rasulallah Saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang memutus (hubungan famili)". Abu Sufyan berkata, dalam suatu riwayat, yakni pemutus hubungan famili. (HR. Bukhari dan Muslim)(Musthafa Dhaib Bigha, 1999: 663)

Menurut Imam Nawawi, persengketaan harus diakhiri pada hari ketiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagian ulama, di antara sebab Islam membolehkan adanya persengketaan selama tiga hari adalah karena dalam jiwa manusia terdapat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya ketika bertengkar atau dalam keadaan marah. Diharapkan dengan pemberian jeda atau tenggang waktu selama tiga hari akan dapat menghilangkan perasaan tersebut.

..::|5|::.. Berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip egaliter (persamaan derajat)

Nilai pendidikan akhlak tentang persamaan derajat (egaliter) terdapat surat al-Hujuraat ayat 13 berikut ini:
"………Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".(QS. Al-Hujuraat, 49: 13)

Isma'il bin Katsir al-Qursyiyyi ad-Dinisyqi (Ibnu Katsir) menafsirkan ayat tersebut di atas sebagai berikut: "maksudnya adalah salah seorang dari kalian dapat mengungguli yang lainnya di hadapan Allah SWT dengan kadar ketakwaannya dan bukan dengan nasab (keturunan)-nya". Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ أَبِيْ َّرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: أُنْظُرْ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِخَيْرٍ مِنْ أَحْمَرٍ وَلاَ أَسْوَدٍ إِلاَّ أَنْ تُفْضِلُهُ بِتَقْوَى اللهِ (رواه أحمد)

Artinya:
Dari Abu Dzar r.a. ia mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Ketahuilah sesungguhnya engkau tidak lebih baik dari orang yang berkulit merah, tidak pula dari orang yang berkulit hitam, kecuali jika engkau mengunggulinya denngan kadar ketakwaan kalian kepada Allah SWT". (HR. Ahmad)(Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277)

Kadar ketakwaan seseorang merupakan satu-satunya tolok ukur untuk membedakakan apakah derajat seseorang itu mulia atau tidak di hadapan Allah SWT. Tolok ukur yang digunakan manusia selama ini seperti keturunan, materi, dan kedudukan bukanlah tolok ukur yang sebenarnya, tolak ukur semacam ini bermuara pada sikap dan perilaku kesombongan.
Salah satu sendi ajaran Islam yang paling agung adalah prinsip persamaan hak yang telah disyariatkan bagi umat manusia. Semua manusia sama dalam pandangan Islam. Tidak ada perbedaan antara kulit hitam dengan kulit putih, antara Si Kuning dengan Si Merah, Si Kaya dengan Si Miskin, raja dengan rakyat, pemimpin dengan yang dipimpin. Oleh karenanya tidaklah patut kalau di antara manusia terjadi kesombongan disebabkan karena bedanya pangkat maupun keturunannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa dan yang paling banyak amal kebaikannya.

Rasulallah Saw menegaskan prinsip persamaan hak ini dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, seperti tercermin dalam sabdanya:

وَحَكَى الثَّعْلَبِى عِنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاأَنَّ سَبَبَهَا قَوْلُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ لِرَجُلٍ لَمْ يَفْسَحْ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَابْنَ فُلاَنَهُ, فَوَبَّخَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ لَهُ: إِنَّكَ لاَ تَفْضُلُ أَحَدًا إِلاَّ فِي الدِّيْنِ وَالتَّقْوى, ذكره الواحدى في أسباب النزول بغير سند (رواه الطبراني)

Artinya:
Dikabarkan dari Tsa'labi dari Ibnu Abbas r.a., adapun sebabnya adalah perkataan (teguran) Tsabit bin Qais kepada seseorang yang tidak melapangkan tempat duduk di sisi Nabi SAW, hai fulan! Kemudian Nabi Saw memperingatinya dengan bersabda: "Sesungguhnya Engkau tidak layak mengutamakan seseorang atas orang lain kecuali dalam hal agama dan takwa". (HR Thabrani) (Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal Sayyid Ibrahim, 1989: 514)

Dengan demikian Islam dalam ajaran syariatnya, mengukuhkan adanya penghormatan terhadap manusia, menjamin kebebasan kehidupan dan hak asasi mereka, dan kedudukan mereka di hadapan hukum adalah sama. Tidak ada ajaran untuk melebihkan satu dari yang lain di hadapan hukum, kecuali dengan mengamalkan kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa dan pelanggaran. Adapun bentuk dari pelaksanaan persamaan hak itu antara lain ialah penerapan hukum bagi pelaku kejahatan tanpa membeda-bedakan status sosial pelakunya.
Kalau dicermati lebih jauh, bahwa salah satu penyebab kemunduran suatu bangsa adalah karena penegakkan hukum belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dalam hal ini sering kali orang dipandang berdasarkan status sosialnya. Rasulallah Saw adalah pribadi yang paling tegas dalam menegakkan keadilan, hal ini tercermin dari dari sebuah peristiwa ketika pada masa itu terjadi sebuah pencurian, beliau mengatakan seandainya yang mencuri itu adalah Fatimah maka akulah yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jika suatu bangsa mengharapkan negara yang makmur, aman dan sejahtera maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menegakkan prinsip keadilan, dan menghukumnya bagi yang melanggar peraturan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, artinya siapa yang melakukan kesalahan maka baginya pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan tidak memandang latar belakang dan jabatan yang disandangnya, karena hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan lainnya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13 adalah sebagai berikut: 1) pendidikan akhlak tentang menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, aplikasinya adalah dalam bentuk tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk memperolok-olok sesama, tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk mencela sesama, tidak memanggil atau memberi gelaran kepada sesame dengan panggilan atau gelaran yang jelek lagi tidak disukai, tidak berburuk sangka (su'udzdzon) kepada sesama, tidak mencari-cari dan atau menyebarluaskan aib/cela sesama, tidak menggunjingkan (ghiebah) sesama; 2) pendidikan akhlak tentang taubat; 3) pendidikan akhlak tentang takwa; 4) pendidikan akhlak tentang ta'aruf; dan 5) pendidikan akhlak tentang berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan derajat (egaliter).

REFERENSI :
  • Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i. 1992. an-Nashoo'ih ad-Diniyyah. Beirut: an-Nasyir. Cet. I.
  • Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal Sayyid Ibrahim. 1989. Al-Muharrarul Wajiz. Juz XIII.
  • Fakhrur Razi. tt. Tafsir Fakhrur Razi. Beirut: Darul Fikr.
  • Imam Ghazali. 2006. Ihya Ulumuddin, terj. Purwanto. Bandung: Marja. Cet. VI.
  • Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi. 1994. Tafsir al-Qur'an al-'Adhim. Riyadh : Daar as-Salaam. Juz IV.
  • K.H.Q. Shaleh, et.al. 1976. Ayat-Ayat Hukum, Tafsir dan Uraian Perintah-Perintah dalam Al-Qur'an. Bandung: Diponegoro.
  • Khalid Abdurrahman al-'Akk. 1994. Shofwah al-Bayaan li Ma'aani al-Qur'aan al-Kariim. Mesir: Daar as-Salaam.
  • Muhammad Nasib Rifai. 2000. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani. Jilid IV.
  • Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar. 1988. Zubdah at-Tafsir min Fath al-Qadir. Kuwait: Wizarah al-Auqaaf wa asy-Syu'un al-Islamiyyah.
  • Musthafa Dhaib Bigha.1999. Mukhtashar Shahih Bukhari. Beirut: Yamamah.
  • Rahmat Syafe'i. 2003. Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Cet. II.
  • Sa'id Hawa. 1979. Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan. Beirut: Daar al-Kuttub al-Ilmiyah. Cet. III.
  • Shalih bin Abdul Aziz. 1999. Jami'ut Tirmidzi. Riyadh: Darussalam.
Faahisyah ialah dosa yang mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Adapun menganiaya diri sendiri adalah melakukan dosa yang mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. (lihat catatan kaki ke -229 Al-Qur'an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma' Al-Malik Fahd Li Thiba'at al-Mush-haf Asy-Syarif, 1418, h. 98)## TAMMAT ##

Areefah
Areefah Haurgeulis Updated at:

Mari jadi yang pertama untuk berkomentar di posting ini!

 
back to top