Tiga Karakter Utama Pribadi Muslim
Ust. M. Jamhuri, Lc
Allah Jalla wa 'Alaa Subhaanah berfirman:
Ust. M. Jamhuri, Lc
Allah Jalla wa 'Alaa Subhaanah berfirman:
Artinya : "Kitab al-Quran ini yang tidak ada keraguan didalamnya menjadi petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka" (QS. Al-Baqarah: 2-3)
Menurut ayat di atas, sifat dan karakter Muslim yang bertakwa adalah memiliki aqidah dan keimanan (beriman kepada yang ghaib), melaksanakan ibadah (mendirikan shalat), serta berakhlak sosial yang baik (menafkahkan sebagian rezeki yang dianugerahkan). Adapun ayat berikutnya berupa keimanan kepada kitab-kitab sebelumnya dan kepada hari kiamat adalah penegas dari tiga karakter di atas.
Dengan demikian, karakter utama pribadi muslim dapat dikatakan ada tiga perkara:
Pertama, Salimul Aqidah (Aqidah yang benar). Yakni keyakinan kepada kepada rukun iman dengan benar. Tidak dicampuri dengan kepercayaan di luar yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta para ulama yang istiqomah dan takut kepada Allah. Keimanan yang tidak disusupi dengan kesyirikan; kecil atau besar. Keimanan yang lurus yang menjadikan ridho Allah sebagai tujuan hidupnya, menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya aturan hidup (way of life). Keimanan kepada Allah yang dapat menggelorakan daya juang dan optimis dalam hidup. Sebagaimana firman Allah swt:
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushilat: 30)
Banyak muslim yang belum salimul aqidah (benar aqidahnya). Sebagai contoh; mereka masih mempercayai ramalan bintang atau zodiak tentang rezeki, kekasih dan nasibnya, masih mempercayai ramalan yang diungkapkan paranormal/dukun, baik melalui media tv, koran maupun acara intertaitmen. Masih mendatangi dukun-dukun dan orang “pinter” untuk memohon petunjuknya tentang pesugihan maupun tanggal suatu kegiatan. Masih meyakini ada hari buruk dan bulan buruk. Masih ada yang meyakini bahwa benda-benda pusaka memiliki tenaga magis sehingga beriman pada benda tersebut, bahkan menggantungkan hidupnya pada benda tersebut. Semua perbuatan itu dapat mengikis aqidah kita, bahkan mengantarkan kepada perbuatan syirik, sehingga amal shaleh kita tidak akan diterima oleh Allah swt, wal iyadzu billah. Sebagaimana firman Allah swt:
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisaa: 48)
Kedua, Shahihul Ibadah (benar ibadahnya). Ibadah yang benar adalah ibadah yang akan diterima oleh Allah swt. Para ulama menyatakan bahwa ibadah yang akan diterima Allah swt itu harus memiliki dua syarat. Pertama, ibadah itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah swt. Kedua, ibadah itu dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar. Jika salah satu dari kedua syarat itu tidak terpenuhi, maka ibadah kita tidak akan diterima. Sebagai contoh; seseorang melaksanakan suatu ibadah, shalat misalnya, bukan dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi karena ingin dikatakan oleh manusia bahwa ia orang yang rajin shalat, atau ia ingin dipuji oleh orang lain, atau agar dikatakan sebagai orang shaleh, maka ibadah yang dia lakukan tidak akan diterima oleh Allah swt. Perbuatan ini disebut dengan riya (pamer) yang merupakan bentuk syirik kecil (al-syirk al-ashghor). Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil?” Rasulullah saw menjawab, “Ketahuilah, dia adalah perbuatan riya (ingin dipuji orang)”
Ada pula orang yang beribadah dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi cara ibadahnya tidak sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan ajaran Islam yang benar, maka ibadah seperti ini pun tidak akan diterima oleh Allah swt. Misalnya menambah rakaat shalat zuhur menjadi lima rakaat, padahal bukan dikarenakan lupa, maka “tambahan” yang tidak diajarkan Nabi saw dan ajaran Islam yang benar itu membuat ibadahnya tidak diterima oleh Allah swt.
Jadi, ibadah yang benar adalah ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, serta sesuai dengan petunjuk Nabi saw atau ajaran Islam yang benar.
Ketiga, Matinul Khuluq (Akhlak yang kokoh). Seorang muslim tidak cukup berakidah dan beribadah yang benar saja. Namun dia juga harus berakhlak baik kepada semua makhluk Allah. Hal itu agar akidah dan ibadah yang dia persembahkan kepada Allah swt dapat memberi efek poistif bagi perilaku terhadap makhluk-makhluk Allah. Oleh sebab itu, Islam telah mengajarkan dan mengatur adab dan akhlak terhadap orang tua, sanak saudara, suami/isteri, kaum miskin, anak yatim, terhadap hewan, bahkan terhadap pepohonan dan alam seluruhnya.
Sebagian cendekiawan muslim memberi tamsil pohon untuk tiga kriteria di atas; yakni; aqidah laksana akar yang menghujam kuat ke dalam bumi, ibadah bagaikan batang dan ranting pohon yang memberi kesejukan, sedangkan akhlak bagaikan buah yang dapat dinikmati oleh orang lain. Oleh sebab itu, Allah swt memberi perumpamaan kalimat thoyibah laksana Syajaroh Thoyibah (pohon yang baik). Allah swt berfirman yang artinya:
Artinya : “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)
source: http://www.pkskelapadua.com
Mari jadi yang pertama untuk berkomentar di posting ini!
Posting Komentar