-->
Doa Pagi dan Petang (dibaca 3 kali)
اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ سِمْعِيْ اللهم عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَااِلهَ الِاَّ اَنْتَ
"Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada badanku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada pendengaranku; Ya Allah anugerahkanlah kesehatan pada penglihatanku, tiada Ilaah yang layak untuk diibadahi kecuali Engkau".
(Hadits Hasan Riwayat Abu Daud: 4/324 dan Ahmad: 5/42)

Rabu, Juli 20, 2011

SILABUS DAN RPP PAI BERKARAKTER UNTUK MA

DOWNLOAD
SILABUS DAN RPP PAI MA
SILABUS DAN RPP MA/SMA BERKARAKTER
(Akidah Akhlak, Al-Quran Hadits, Fiqih, SKI, dan Bahasa Arab)

Perangkat pembelajaran berupa Silabus dan RPP merupakan senjata utama seorang Pendidik dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.Terkadang karena sesuatu hal,  keterbatasan waktu misalnya, Silabus dan RPP terbengkalai untuk disiapkan. Oleh karena itu dalam rangka membatu rekan-rekan, kami siapkan Silabus dan RPP PAI berkarakter  untuk MA (Madrasah Aliyah)

Tafadholl Download saja Pak/Bu Guru (FREE) !

[ Klik Kls-nya untuk mendownload ]

...::| A. Download Silabus PAI MA |::...
  1. Silabus Al-Quran Hadits [ Kls X | Kls XI | Kls XII
  2. Silabus Akidah Akhlak [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
  3. Silabus Fiqih [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
  4. Silabus SKI [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
  5. Silabus Bahasa Arab [ Kls X | Kls XI | Kls XII ] 
-->
    ...::| B. Download RPP PAI MA |::...
    1. RPP Al-Quran Hadits [ Kls X | Kls XI | Kls XII
    2. RPP Akidah Akhlak [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
    3. RPP Fiqih [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
    4. RPP SKI [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]
    5. RPP Bahasa Arab [ Kls X | Kls XI | Kls XII ]

    Areefah
    Areefah Haurgeulis Updated at:

    Senin, Juli 04, 2011

    APLIKASI PENGHITUNG RUMUS KORELASI PRODUCT MOMENT

    Secara umum...........
    Bentuk/model Rumus Korelasi Product Moment adalah sebagai berikut »

    rumus+korelasi+product+moment

    Bagi sebagian kita pastinya rada NGAP-NGAPAN "ora bisa (jawa_indramayu, tdk mampu)" ketika mengaplikasikan rumus tersebut, lier (sunda, repot). Hal tersebut terjadi karena kadar jeung kualitas keilmuan kita dalam bidang MATEMATIKA pas-pasan, pas sekedar utk mengajarkan anak2 kelas 1-3 SD/MI. 

    Nah dalam rangka mengurangi ke-engap2an semacam itu, kami berikan aplikasi (microsoft office excel) yang akan membantu Anda untuk menemukan nilai rxy .


    Monggo cak, neng, kang, mbak, download za via link di bawah ini »

    .....:::| Download Aplikasi Rumus Korelsi Product Moment |:::.....

          Areefah
          Areefah Haurgeulis Updated at:

          Sabtu, Juli 02, 2011

          NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 4 / 4 Tulisan ]

          (Bagian 4 dari 4 Tulisan)

          ..::|4|::..Ta'aruf

          Pendidikan akhlak tentang ta'aruf (sikap dan perilaku untuk saling mengenal terhadap sesama) terdapat dalam surat al-hujuraat ayat 13, yaitu:

          "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal………….". (QS. Al-Hujuraat, 49: 13)

          Maha suci Dzat yang telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, padahal pada awalnya manusia berasal dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa. Dengan kekuasaan dan kehendaknya terlahir manusia yang berbeda ras dan warna kulit, dan sudah menjadi sunah-Nya bahwa segala yang diciptakannya tidak sia-sia. Perbedaan semua itu adalah agar semua manusia satu sama lain melakukan ta'aruf (saling mengenal sesama). Karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bermasyarakat dan bantuan orang lain. Dengan ta'aruf pula rasa saling menyayangi akan timbul di antara sesama. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Katsir, yaitu bahwa maksud dari lafadz لتعارفوا pada ayat tersebut di atas adalah لِيَحْصُلَ التَّعَارُفَ بَيْنَهُمْ (dimaksudkan untuk saling mengenal di antara mereka). (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277)

          Ayat tersebut semakin menegaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bekerja sama (dalam kebaikan) sekaligus menafikan sifat kesombongan dan membanggakan diri yang disebabkan oleh adanya perbedaan nasab (keturunan). Ayat ini juga dapat dipahami bahwa diciptakannya manusia untuk mengenal Tuhannya. (Fahrur Razi, tt: 138)

          Untuk menciptakan suasana kehidupan bermasyarakat yang harmonis tidak cukup hanya berhenti pada ta'aruf (saling mengenal), akan tetapi harus ditindaklanjuti (follow up) dengan usaha dan upaya pembinaan dan pemupukkan yang berkesinambungan yang akan dapat mewujudkan keharmaonisan hubungan tersebut dapat bertahan lama (langgeng). Upaya ini dikenal dengan istilah silaturrahim. Silaturrahim artinya menyambungkan tali persaudaraan. Silaturrahim merupakan ajaran yang harus senantiasa dipupuk dan dibina agar bisa tumbuh dengan subur di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Selain itu, silaturrahim memiliki nilai yang luas dan mendalam, yang tidak hanya sekedar menyambungkan tali persaudaraan, lebih dari pada itu, silaturrahim juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah untuk membuka pintu-pintu sumber rezeki (penghidupan) dan sarana untuk menjadikan umur menjadi lebih berbarokah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :

          عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَالِكَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ سّرَّهُ أَنْ يَبْسُطَ لَهُ رِزْقُهُ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ أَثَرُهُ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رواه البخاري)

          Artinya:
          Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulallah Saw bersabda: "Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dilanjutkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan famili (kerabat)". (HR Bukhari) (Mustafa Dhaib Bigha, 1999: 291)

          Hadits di atas kalau dicermati dengan seksama sangatlah logis, orang yang selalu bersilaturrahim tentunya akan memiliki banyak teman relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam membuka peluang usaha/bisnis. Selain itu dengan banyak teman, akan memperbanyak saudara dan berarti pula telah berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, hal ini karena telah melaksanakan salah satu perintahnya yang menyambungkan tali silaturrahim.

          Silaturrahim merupakan sifat terpuji yang harus senantiasa dibiasakan, karena memiliki banyak manfaat. Menurut Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, seperti dikutip oleh Rahmat Syafi'i (2003: 210), keuntungan bersilaturrahim ada sepuluh, yaitu:

          1. Memperoleh ridha Allah SWT karena Dia yang memerintahkannya;
          2. Membuat gembira orang lain;
          3. Menyebabkan pelakunya menjadi disukai malaikat;
          4. Mendatangkan pujian kaum Muslimin padanya;
          5. Membuat marah iblis;
          6. Memanjangkan usia;
          7. Menambah barakah rezekinya;
          8. Membuat senang kaum kerabat yang telah meninggal, karena merek senang jika anak cucunya selalu bersilaturrahim;
          9. Memupuk rasa kasih sayang di antara keluarga/famili sehingga timbul semangat saling membantu ketika berhajat; dan
          10. Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang, dan didoakan karena kebaikannya.
          Seseorang yang memutuskan silaturrahim tidak akan mendapatkan kebahagiaan kelak di akhirat, yaitu bahwa ia akan diancam dengan siksa neraka yang pedih. Dalam hal ini Rasulallah SAW bersabda:

          عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ, قَالَ سُفْيَاتُ: وَفِيْ رِوَايَةٍ يَعْنِيْ قَاطِعُ الرَّحْمِ (متفق عليه)

          Artinya:
          Dari Abu Muhammad (Jubair) bin Muth'im ra., bahwa Rasulallah Saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang memutus (hubungan famili)". Abu Sufyan berkata, dalam suatu riwayat, yakni pemutus hubungan famili. (HR. Bukhari dan Muslim)(Musthafa Dhaib Bigha, 1999: 663)

          Menurut Imam Nawawi, persengketaan harus diakhiri pada hari ketiga, tidak boleh lebih. Menurut sebagian ulama, di antara sebab Islam membolehkan adanya persengketaan selama tiga hari adalah karena dalam jiwa manusia terdapat amarah dan akhlak jelek yang tidak dapat dikuasainya ketika bertengkar atau dalam keadaan marah. Diharapkan dengan pemberian jeda atau tenggang waktu selama tiga hari akan dapat menghilangkan perasaan tersebut.

          ..::|5|::.. Berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip egaliter (persamaan derajat)

          Nilai pendidikan akhlak tentang persamaan derajat (egaliter) terdapat surat al-Hujuraat ayat 13 berikut ini:
          "………Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".(QS. Al-Hujuraat, 49: 13)

          Isma'il bin Katsir al-Qursyiyyi ad-Dinisyqi (Ibnu Katsir) menafsirkan ayat tersebut di atas sebagai berikut: "maksudnya adalah salah seorang dari kalian dapat mengungguli yang lainnya di hadapan Allah SWT dengan kadar ketakwaannya dan bukan dengan nasab (keturunan)-nya". Rasulullah Saw bersabda:

          عَنْ أَبِيْ َّرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: أُنْظُرْ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِخَيْرٍ مِنْ أَحْمَرٍ وَلاَ أَسْوَدٍ إِلاَّ أَنْ تُفْضِلُهُ بِتَقْوَى اللهِ (رواه أحمد)

          Artinya:
          Dari Abu Dzar r.a. ia mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Ketahuilah sesungguhnya engkau tidak lebih baik dari orang yang berkulit merah, tidak pula dari orang yang berkulit hitam, kecuali jika engkau mengunggulinya denngan kadar ketakwaan kalian kepada Allah SWT". (HR. Ahmad)(Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi, 1994: 277)

          Kadar ketakwaan seseorang merupakan satu-satunya tolok ukur untuk membedakakan apakah derajat seseorang itu mulia atau tidak di hadapan Allah SWT. Tolok ukur yang digunakan manusia selama ini seperti keturunan, materi, dan kedudukan bukanlah tolok ukur yang sebenarnya, tolak ukur semacam ini bermuara pada sikap dan perilaku kesombongan.
          Salah satu sendi ajaran Islam yang paling agung adalah prinsip persamaan hak yang telah disyariatkan bagi umat manusia. Semua manusia sama dalam pandangan Islam. Tidak ada perbedaan antara kulit hitam dengan kulit putih, antara Si Kuning dengan Si Merah, Si Kaya dengan Si Miskin, raja dengan rakyat, pemimpin dengan yang dipimpin. Oleh karenanya tidaklah patut kalau di antara manusia terjadi kesombongan disebabkan karena bedanya pangkat maupun keturunannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa dan yang paling banyak amal kebaikannya.

          Rasulallah Saw menegaskan prinsip persamaan hak ini dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, seperti tercermin dalam sabdanya:

          وَحَكَى الثَّعْلَبِى عِنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاأَنَّ سَبَبَهَا قَوْلُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ لِرَجُلٍ لَمْ يَفْسَحْ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَابْنَ فُلاَنَهُ, فَوَبَّخَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ لَهُ: إِنَّكَ لاَ تَفْضُلُ أَحَدًا إِلاَّ فِي الدِّيْنِ وَالتَّقْوى, ذكره الواحدى في أسباب النزول بغير سند (رواه الطبراني)

          Artinya:
          Dikabarkan dari Tsa'labi dari Ibnu Abbas r.a., adapun sebabnya adalah perkataan (teguran) Tsabit bin Qais kepada seseorang yang tidak melapangkan tempat duduk di sisi Nabi SAW, hai fulan! Kemudian Nabi Saw memperingatinya dengan bersabda: "Sesungguhnya Engkau tidak layak mengutamakan seseorang atas orang lain kecuali dalam hal agama dan takwa". (HR Thabrani) (Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal Sayyid Ibrahim, 1989: 514)

          Dengan demikian Islam dalam ajaran syariatnya, mengukuhkan adanya penghormatan terhadap manusia, menjamin kebebasan kehidupan dan hak asasi mereka, dan kedudukan mereka di hadapan hukum adalah sama. Tidak ada ajaran untuk melebihkan satu dari yang lain di hadapan hukum, kecuali dengan mengamalkan kebaikan dan meninggalkan perbuatan dosa dan pelanggaran. Adapun bentuk dari pelaksanaan persamaan hak itu antara lain ialah penerapan hukum bagi pelaku kejahatan tanpa membeda-bedakan status sosial pelakunya.
          Kalau dicermati lebih jauh, bahwa salah satu penyebab kemunduran suatu bangsa adalah karena penegakkan hukum belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dalam hal ini sering kali orang dipandang berdasarkan status sosialnya. Rasulallah Saw adalah pribadi yang paling tegas dalam menegakkan keadilan, hal ini tercermin dari dari sebuah peristiwa ketika pada masa itu terjadi sebuah pencurian, beliau mengatakan seandainya yang mencuri itu adalah Fatimah maka akulah yang akan memotong tangannya. Oleh karena itu, jika suatu bangsa mengharapkan negara yang makmur, aman dan sejahtera maka salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan menegakkan prinsip keadilan, dan menghukumnya bagi yang melanggar peraturan.

          Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan semua orang adalah sama, artinya siapa yang melakukan kesalahan maka baginya pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Dengan tidak memandang latar belakang dan jabatan yang disandangnya, karena hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan lainnya.
          Dari uraian-uraian tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat al-Hujuraat ayat 11-13 adalah sebagai berikut: 1) pendidikan akhlak tentang menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin, aplikasinya adalah dalam bentuk tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk memperolok-olok sesama, tidak bersikap atau berbuat sesuatu dengan maksud untuk mencela sesama, tidak memanggil atau memberi gelaran kepada sesame dengan panggilan atau gelaran yang jelek lagi tidak disukai, tidak berburuk sangka (su'udzdzon) kepada sesama, tidak mencari-cari dan atau menyebarluaskan aib/cela sesama, tidak menggunjingkan (ghiebah) sesama; 2) pendidikan akhlak tentang taubat; 3) pendidikan akhlak tentang takwa; 4) pendidikan akhlak tentang ta'aruf; dan 5) pendidikan akhlak tentang berpegang teguh dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan derajat (egaliter).

          REFERENSI :
          • Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i. 1992. an-Nashoo'ih ad-Diniyyah. Beirut: an-Nasyir. Cet. I.
          • Abdullah bin Ibrahim dan Abdul Aal Sayyid Ibrahim. 1989. Al-Muharrarul Wajiz. Juz XIII.
          • Fakhrur Razi. tt. Tafsir Fakhrur Razi. Beirut: Darul Fikr.
          • Imam Ghazali. 2006. Ihya Ulumuddin, terj. Purwanto. Bandung: Marja. Cet. VI.
          • Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisyqi. 1994. Tafsir al-Qur'an al-'Adhim. Riyadh : Daar as-Salaam. Juz IV.
          • K.H.Q. Shaleh, et.al. 1976. Ayat-Ayat Hukum, Tafsir dan Uraian Perintah-Perintah dalam Al-Qur'an. Bandung: Diponegoro.
          • Khalid Abdurrahman al-'Akk. 1994. Shofwah al-Bayaan li Ma'aani al-Qur'aan al-Kariim. Mesir: Daar as-Salaam.
          • Muhammad Nasib Rifai. 2000. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani. Jilid IV.
          • Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar. 1988. Zubdah at-Tafsir min Fath al-Qadir. Kuwait: Wizarah al-Auqaaf wa asy-Syu'un al-Islamiyyah.
          • Musthafa Dhaib Bigha.1999. Mukhtashar Shahih Bukhari. Beirut: Yamamah.
          • Rahmat Syafe'i. 2003. Aqidah, Akhlak, Sosial dan Hukum. Bandung: Pustaka Setia. Cet. II.
          • Sa'id Hawa. 1979. Jundullah Tsaqaafatan wa Akhlaaqan. Beirut: Daar al-Kuttub al-Ilmiyah. Cet. III.
          • Shalih bin Abdul Aziz. 1999. Jami'ut Tirmidzi. Riyadh: Darussalam.
          Faahisyah ialah dosa yang mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Adapun menganiaya diri sendiri adalah melakukan dosa yang mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. (lihat catatan kaki ke -229 Al-Qur'an dan Terjemahnya, Madinah: Mujamma' Al-Malik Fahd Li Thiba'at al-Mush-haf Asy-Syarif, 1418, h. 98)## TAMMAT ##

          Areefah
          Areefah Haurgeulis Updated at:

          NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 3 / 4 Tulisan ]

          (Bagian 3 dari 4 Tulisan)
          ...::|3|::... Takwa

          Pendidikan akhlak tentang takwa terdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 12, yaitu tersurat dalam kalimat sebagai berikut:

          "……….. dan bertakwalah kepada Allah………….". (QS. Al-Hujuraat, 49: 12)

          Kalimat yang pendek dan singkat tersebut ( واتقوا الله ) adalah bentuk kalimat perintah yang mengandung makna yang mendalam lagi sangat luas, yakni perintah untuk senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dalam segala kondisi dan situasi, baik ketika sehat maupun sakit, ketika sendiri atau pun di tengah orang-orang banyak, di desa atau pun di kota. 

          Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

          عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمُا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (رواه الترمذى)

          Artinya:
          Dari Abu Dzar r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Bertakwalah kepada Allah SWT di mana pun engkau berada (bagaimanapun kondisi dan situasi) dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya (pahala) kebaikan akan menghapuskan (dosa) keburukan, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan budi pekerti yang baik". (HR. Tirmidzi)

          Perintah bertakwa tersebut juga berarti menuntut manusia untuk melaksanakan segala bentuk perintah-perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-larangan -Nya sebagaimana yang telah contohkan dan disampaikan oleh Rasulullah Saw melalui para penerus perjuangannya hingga sampai kepada kita. Konsekwensi sikap dan perilaku menjalankan segala perintah yang harus diiringi dengan sikap dan perilaku meninggalkan semua larangan ini senada dengan definisi takwa berikut ini:

          قَالَ الْعُلَمَاءُ رِضْوَنُ اللهِ عَلَيْهِمْ : أَلتَّقْوَى عَبَارَةٌ عَنْ إِمْتِثَالِ أَوَامِرِ اللهِ تَعَالى وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مَعَ اسْتِشْعَارِ التَّعْظِيْمِ لِلّهِ وَالْهَيْبَةِ وَالْخَشْيَةِ وَالرّهْبَةِ مِنَ اللهِ

          Artinya:
          Para Ulama r.a. mendefinisikan takwa sebagai berikut: "Takwa adalah sebuah ungkapan tentang sikap dan perilaku melaksanakan/mentaati segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan -Nya secara dhahir dan bathin dengan diiringi perasaan ta'dhim (sikap dan perilaku mengagungkan Allah SWT), hormat, dan takut kepada -Nya".
          (Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 12)

          Ibnu Katsir, menafsirkan kalimat واتقوا الله sebagai berikut: yakni (maksudnya bertakwa kepada Allah SWT) dalam hal-hal yang diperintahkan Allah kepadamu dan dalam hal-hal yang dilarang -Nya, dan hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allah dalam hal takwa dan takut kepada -Nya SWT. (Isma'il bin Katsir al-Qurasyiyyi ad-Dimisqiy, 1994: 276)

          Adapun konsekuensi dari ungkapan takwa secara lebih rinci adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Sa'id Hawa, yaitu bahwa sikap dan perilaku orang yang bertakwa kepada Allah SWT (al-Muttaqi) tercermin dalam hal-hal sebagai berikut:


          • Beriman kepada hal-hal yang ghaib, mendirikan shalat, gemar berinfak, mengikuti tuntunan dan ajaran al-Qur'an. (QS. al-Baqarah, 2: 3);
          • Beriman kepada: Allah SWT, hari akhir, malaikat-malaikat Allah SWT, kitab-kitab Allah SWT, nabi-nabi Allah SWT; memberikan harta yang disukai kepada: kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta/pengemis, dan untuk memerdekakan budak; mendirikan shalat dan membayar zakat; menepati janji; sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (QS. al-Baqarah, 2; 177);
          • Selalu memohon ampun (istighfar) kepada Allah dari segala dosa, dan memohon kepada -Nya untuk dijauhkan dari siksa neraka (QS. Ali Imran, 3: 16);
          • Senantiasa berinfak baik ketika lapang ataupun sempit, mampu menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain, apabila berbuat keji (faahisyah) atau menganiaya diri sendiri ingat kepada Allah dan bersegera memohon ampun kepada -Nya. (QS. ali-Imran, 3: 134-135);
          • Takut akan siksa dari Allah dan takut akan tibanya hari kiamat. (QS. al-Anbiyaa', 21: 49); dan
          • Senantiasa berbuat baik, sedikit tidur di waktu malam (untuk shalat malam), memohon ampun kepada Allah di akhir-akhir malam, memberikan hak orang-orang miskin yang meminta-minta dan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta dari hartanya. (QS. adz-Dzaariyat, 51: 17-19) (Sa'id Hawa, 1979: 264-311)##
          Baca bag. [1] [2] [3] [4]

          Areefah
          Areefah Haurgeulis Updated at:

          NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK [ 2 / 4 Tulisan ]

          (Bagian 2 dari 4 Tulisan)
          ...::|2|::... Taubat

          Pendidikan akhlak tentang taubat ini terdapat dalam surat al-Hujuraat ayat 12, yaitu sebagai berikut:

          "….dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim". (QS. Al-Hujuraat, 49: 11)

          Taubat berarti penyesalan atau menyesal karena telah melakukan suatu kesalahan dengan jalan berjanji sepenuh hati tidak akan lagi melakukan dosa atau kesalahan yang sama dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Taubat adalah awal atau permulaan di dalam hidup seseorang yang telah memantapkan diri untuk berjalan di jalan Allah (suluk). Taubat merupakan akar, modal, atau pokok pangkal bagi orang-orang yang berhasil meraih kemenangan (kesuksesan). (Imam Ghazali, 2006: 9)

          Seseorang yang telah berbuat dosa atau kesalahan, maka sudah menjadi kewajiban baginya agar segera kembali (taubat) kepada Allah SWT, sehingga ia tidak bergelimang secara terus menerus dalam jurang kemaksiatan, yang akan membuatnya semakin jauh dari rahmat Allah SWT. Dengan kembali kepada Allah SWT diharapkan ia menjadi orang yang semakin dekat dengan Sang Khaliq.

          Taubat itu merupakan kata yang mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk direalisasikan. Untuk mengetahui apakah seseorang itu telah benar-benar bertaubat atau banar-benar belum bertaubat, dapat dilihat dari ucapan, sikap, dan tingkah laku orang tersebut setelah dirinya menyatakan bertaubat. Jika ia benar-benar bertaubat maka harus ada perubahan dalam hal-hal tersebut menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

          "Sesungguhnya taubat di sisi Allah h
          nyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS. An-Nisaa', 4: 17)

          Allah SWT memerintahkan hamba-hamba -Nya untuk bertaubat, Allah SWT pun sangat mencintai orang-orang yang mau bertaubat, dan Allah SWT berjanji kepada hamba-hamba -Nya bahwa taubat mereka akan diterima serta akan mengampuni segala dosa-dosa mereka yang telah lalu. Allah SWT berfirman:

          "dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung". (QS. An-Nuur, 24: 31)

          "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri".(QS. Al-Baqarah, 2: 222)

          "Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(QS. Al-Maa'idah, 5: 39)

          "dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Asy-Syuura, 42: 25)

          Taubat yang hakiki (Taubat Nasuha) bukan hanya dengan ucapan lisan saja, yakni dengan mengucapkan lafadz "Astaghfirullah al-'Adhiim", tetapi juga harus diiringi dengan penyesalan dalam hati, dan diiringi dengan meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan secara konsisten dalam keseharian.

          Para ulama mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang mau bertaubat, agar taubatnya benar-benar sempurna, sehingga dapat diterima oleh Allah SWT, persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

          • An-Nadam bi al-Qalb, yakni menyesali dalam hati segala perbuatan dosa yang telah dilakukan;
          • Al-Iqla' 'an adz-Dzunuub, yakni meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan; dan 
          • Al-'Azm 'ala an Laa Ya'uud ila adz-Dzunuub maa 'Aasya, yakni bertekad untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa yang telah dilakukan secara konsisten sepanjang hayat. (Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 324)
          Orang-orang yang melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, kemudian Allah SWT menerima taubatnya maka orang tersebut diibaratkan seperti orang yang tidak berdosa. Rasululah Saw bersabda :

          أَلتَّائِبُ مِنَ الذُّنُوْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

          Artinya:
          "Orang yang bertaubat dari segala dosa laksana orang yang tidak mempunyai dosa". (Abdullah bin 'Alawi al-Haddaad al-Hadhrami asy-Syafi'i, 1992: 323)

          Setiap orang Islam harus senantiasa menjaga diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa, karena dengan melakukan perbuatan dosa berarti akan membuka pintu-pintu kehancuran yang akan menimpanya baik di kehidupan dunia lebih-lebih di kehidupan akhirat. Adapun apabila ia terjerumus dalam lembah kenistaan dosa, maka ketika ia menyadarinya, hendaklah bersegera untuk bertaubat kepada Allah SWT, dengan berjanji dalam diri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut, kemudian meninggalkan perbuatan dosa itu sama sekali, dan dengan sepenuh hati membenci perbuatan dosa yang baru saja ia lakukan.

          Dan seyogyanya pula setiap muslim untuk senantiasa bertaubat dan memperbaharui taubatnya setiap saat dan setiap waktu, hal ini dikarenakan dosa itu beragam bentuk dan macamnya, ada dosa kecil dan dosa besar, ada dosa yang tersembunyi dan dosa yang nyata, ada dosa yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan dosa yang dilakukan tanpa disadari, dan lain-lainnya.##

          Baca bag. [1] [2] [3] [4]

          Areefah
          Areefah Haurgeulis Updated at:

           
          back to top